Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Saat Jenazah Laut Dikafani Cuaca

Diperbarui: 30 Juni 2018   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: nusantarakaya.com

Tidak ada yang salah sebetulnya. Ketika garis pantai menutup diri dengan kesedihan. Ganggang dan terumbu karang mengantre mati. Diseret pedati bermuatan zaman yang kelimpungan. Meninggalkan nelayan di buritan kapal. Menyerahkan nahkoda kepada para penjarah yang pura-pura berziarah. 

Laut menjadi semacam kuburan. Menampung segala jenis kematian. Tanpa pemakaman. Karena air tak bisa membuat nisan. Hanya mampu berduka. Ketika saatnya badai tiba.

Laut menjadi kaca yang kusam. Bahkan langit tak bisa berkaca dengan tenang. Birunya menjadi kelabu. Wajah langit menjadi sekeruh ruas bambu yang disayat menjadi sembilu. 

Sekeras apapun gelombang yang coba dicipta. Tak mengaramkan sedikitpun angkara. Hati dan jiwa yang bermuram durja. Menganggap laut selebar kolam ikan. Yang bisa dikuras untuk menjernihkan.

Kesalahan akbar. Laut adalah meja perjamuan besar. Tidak untuk difoya-foya secara barbar. Pada akhirnya saat laut menjadi jenazah. Dikafani cuaca yang koyak moyak. Manusia tak urung akan menjadi semacam tempayak. Dalam bagian sejarah yang rusak.

Bogor, 30 Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline