Di gedung tua ini, yang aku injak lantainya sekeras aku bisa, atas nama dendam usang yang sebenarnya tak lagi ada, aku kembali bertemu kenangan. Menghuru hara setiap lekuk ingatan. Menarikku dalam pusaran waktu. Tempat inilah yang dulu berencana mengusirku. Sebab aku orang muda yang jumawa. Menawarkan sengketa segampang mengedipkan mata.
Gedung ini ibarat seorang ibu. Mengasuh dan menyusui segala pernik-pernik ilmu. Mengajarkan bagaimana harus berani mencengkeram belati membela harga diri. Mendidik seperti apa caranya menyusup masuk dalam kerimbunan tapi tak mati. Memberitahu mengapa hutan itu mesti dijaga sebaik-baiknya karena dari setiap keruntuhannya akan merusak anak-anak tangga yang disusun baik-baik oleh zaman. Ke dalam dinasti kekacauan.
Gedung tua inilah yang aku tuduh. Merebut nyaris semua kenanganku tentang daun-daun yang luruh. Menjatuhi kaki seorang gadis yang entah darimana. Memasuki ruang hatiku dengan semena-mena. Aku menjulukinya dengan nama salah satu bunga.
Dinding kusam ini. Catnya berkelupasan. Bukan karena menua. Tapi nampaknya lebih karena berbelasungkawa. Terhadap pohon-pohon yang bermatian. Tanpa diberikan sedikitpun kesempatan melakukan pembelaan. Hanya karena alasan lajunya peradaban. Manusia butuh ruang dan lahan. Dan hutan, adalah hamba sahaya yang harus tunduk terhadap yang dipertuan.
Bogor, 25 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H