Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Sekelumit Kisah tentang Makam, Malam dan Masam

Diperbarui: 19 Juni 2018   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: mitrawacana.or.id

1)
Aku kehilangan sosok matahari. Matahariku pergi tepat saat aku datang. Matanya tertutup. Aku pikir hanya meredup. Biasanya dari bibirnya yang seharum kurma mengeluarkan sapa; hai anak api. Kapan kau tiba dan secepat apa kau pergi lagi?

Biasanya juga aku membalas sapa itu dengan senyuman seorang jagoan; ibu tenang saja. Aku akan menemani ibu sampai ibu tidak sadar bahwa sudah berlalu waktu sewindu. Aku sudah memakamkan waktu. Waktu adalah milikku.

Tapi itu tidak terjadi. Mata matahari itu tertutup untuk selamanya. Aku bukan lagi memakamkan waktu. Tapi aku memakamkan ibuku.

2)
Saat pemakaman adalah sesungguh-sungguhnya malam bagiku. Tak ada cahaya. Cahaya itu tercerabut abadi. Cahaya kasih yang setara dengan cahaya matahari. Saat itu pukul 2 siang. Tapi di mataku adalah dini hari. Begitu sunyi.

Kegaduhan cangkul menemui batu. Tanah padat terburai menjadi remah-remah. Suara mendengung dari sebutan berbagai nama Tuhan. Melewati telinga seperti angin menyusup diam-diam dan bertingkah seolah mata-mata.

Setelah batu nisan dipancangkan. Aku memutuskan bahwa aku hanya mempunyai malam. Siang bagiku adalah duabelas jam terang yang dipinjamkan. Tidak berarti apa-apa. Tidak untuk apa-apa.

3)
Meninggalkan makam ibuku dan membayangkan dia sendirian. Hatiku seperti dikerubuti ribuan paku. Pedihnya hanya bisa disamai tusukan pedang yang direndam cuka dan bisa. Aku terluka. 

Berkelebatannya kenangan kemudian ikut menghunjamkan ingatan. Betapa sebutan anak api dari ibuku tidak berarti apa-apa. Aku sama sekali tidak menyala. Aku tak lebih dari seorang anak yang tidak durhaka namun lupa memberi bahagia. Aku anak yang tidak tercela namun khilaf dalam berjaga.

Waktu yang dengan sombongnya aku katakan telah aku makamkan, menghukumku. Menurunkan hujan selebat-lebatnya tepat di kepalaku. Membanjirkan lagi banyak kenangan manis tentang matahari yang pergi.

Kenangan yang ada. Membuat genangan tercipta. Aku berkubang di dalamnya. Bersama seluruh pahit dan masam di ruang-ruang kepala. Menyesali ketiadaan ketika ibuku ada. Merenungi keadaan ketika ibuku tiada.

Bogor, 18 Juni 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline