Waktu libur telah habis. Mulut ini mudah lagi mengundang gerimis. Mata ini kembali bisa diperbudak tangis. Tangan ini gampang saja menuliskan pagi, dengan caci. Hidung ini cepat sekali membaui hari, dengan dengki.
Jikapun terjadi. Aku punya alasan kuat untuk mengelak. Aku manusia. Kubangan dosa. Itu semua biasa. Toh aku bisa minta ampun kapan saja. Aku yakin Tuhan akan mengampuniku. Dengan cara-cara yang sama sekali aku tidak tahu. Seperti aku tidak tahu apakah cara itu ternyata bisa menyakitiku.
Aku pernah gagal menepis kerinduan. Mencengkeram malam-malamku ke dalam kesunyian. Seperti hujan. Menjatuhi atap tidurku berulang-ulang. Sampai aku bermimpi benarkah ini musimnya. Atau barangkali ini karena kemarau ikut gagal tiba.
Aku sedang merapikan lemari buku. Beberapa bacaan di situ menyuruhku berbaik sangka. Terhadap angin yang kadang membadai. Terhadap kabut yang kadang memekatkan. Terhadap arah yang kadang menyesatkan.
Begitulah hidup. Menyala dan redup. Seperti lampu jalan yang terang benderang. Beberapa saat kemudian mendadak padam. Tak ubahnya jas mengilap yang tiba-tiba berubah menjadi kain kafan.
Bogor, 15 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H