Aku menatapmu. Sengaja menyelidiki matamu. Aku ingin tahu dimana letak pilu yang kau teriakkan berulang-ulang. Sedangkan sudut mulutmu terlihat membentuk senyuman. Secerah bintang-bintang.
Katamu kau hendak bertemu bahagia. Kau persiapkan segala rupa untuk menyambut kedatangannya. Sebuah pesta tanpa airmata.
Itu terlihat dari susunan cawan dan piring yang kau tata di meja. Buah-buah segar yang baru kau petik dari kebun yang kau susui dengan keringat. Terletak di tengah-tengahnya. Minuman dingin yang kau timba langsung dari sumur yang kau gali dari ingin. Mengisi cawan-cawan tembaga. Beberapa keping roti yang kau isi dengan berlapis-lapis harapan. Tergeletak manis di piring prasmanan.
Bahagia itu istimewa. Jadi harus disambut seagung maharaja. Ujarmu dengan rona pipi menyala. Mengundangnya sungguh menguras isi kepala. Termasuk dengan begitu banyaknya drama yang meruyak di dalamnya.
Lanjutmu. Bahagia itu tentu. Tersembunyi di pendulum waktu. Bersenyawa dengan ujung jarumnya yang tajam. Menyentuh angka demi angka dengan kejam. Hanya sedikit yang paham. Ternyata di antara angka-angka itulah bahagia bersemayam.
Aku setuju. Bahagia itu memang ada. Nun jauh di sana. Nun dekat di sini. Menanti orang-orang melambaikan tangan dan hati. Setelah sekian lama berani menghadapi sunyi. Tak pernah menyerah. Apalagi mengaku kalah.
Bogor, 14 Juni 2018