Sekuntum bunga di pelataran. Sendirian. Kesepian. Mengeja kalimat setiap kali gerimis tiba. Dengan bahasa bunga. Tak berupa lirik atau prosa. Begitu sederhana. Terimakasih kekasih, begitu katanya.
Semua berawal karena rasa membutuhkan. Bunga itu harus menyajikan nektar. Dengan terlebih dahulu mekar. Setelah sebelumnya tubuhnya disirami kabar. Air hujan akan mendatanginya. Memeluk tubuh bunganya. Mencintainya.
Manis yang disimpan dalam kelopak berwarna ungu. Teruntuk kumbang, lebah dan kupu-kupu. Deretan pemburu yang dituntun waktu. Terbang, datang, lalu menyebar ke segala penjuru. Atas nama biji-biji semai yang membeku.
Ketika hujan ditelikung cuaca. Tak jadi tiba atau sekedar tertunda. Mengingkari musim yang dipenjarakan angin. Karena anginnya dipasung dingin di bagian bumi lain. Kuntum bunga akan jatuh tertelungkup. Dalam bentuk kuncup.
Kisah tentang kuntum bunga yang ditinggalkan hujan. Tak ubahnya kisah nelayan yang ditinggalkan lautan. Atau petani yang diabaikan pematang. Atau penjaja cerita yang kehilangan panggung pertunjukan.
Tak lebih tak kurang. Semua terjadi karena jungkir baliknya zaman.
Bogor, 13 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H