Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Hikayat Airmata

Diperbarui: 8 Juni 2018   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. (pixabay)

Malam dirajam kelam. Keping-keping kenangan buram berjatuhan. Melumat seluruh syaraf kepala. Dalam kisah yang disebut hikayat berairmata.

Tokoh yang memerankan cerita adalah mata. Sepasang indera yang terbelalak atau terpejam ketika menatap atau melihat. Rinai hujan yang berhamburan di halaman atau cahaya senja yang tumbang begitu gelap merapat.

Perannya sungguhlah dahsyat. Mewakili iblis sekaligus malaikat. Dengki dan tawakkal bergantian mengisi kornea. Ketika lupa dan ingat adalah skenarionya.

Airmata kemudian menjadi tuhan. Tumpuan atas segala hal yang tak berkenan.  Menerima lalu menyalahkan.

Airmata juga menjadi jurang. Atas nama duka yang tak bisa cepat menghilang. Merayapi dinding tebing keteguhan. Untuk kemudian kembali terhempas tunggang langgang.

Malam yang sepi. Setelah semua suara mendadak berhenti. Adalah waktu yang tepat bagi airmata untuk diakhiri.

Pelalawan, 6 Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline