Saat kau memalingkan muka dari separuh bulan yang memucat. Sedang menatapmu yang berdiri di atap. Namun kau memutuskan justru menghunjamkan perhatian kepada lalu lalang dan kegaduhan di bawah. Saat itulah hati bulan patah di tengah-tengah.
Ketika hujan menutupi sebagian pandanganmu pada pepohonan saat melambaikan perpisahan kepada daun-daunnya yang tergelincir dibawa banjir. Kemudian kau lebih tertarik pada pemandangan sebuah jembatan yang dibangun oleh warna warni atas persekutuan gerimis dan redup cahaya matahari. Saat itulah rasa hujan runtuh dalam luruh.
Waktu petang menuruni undak-undakan langit. Memperhatikanmu sedang meneguk liur menahan rasa sakit atas rindu yang digembala oleh sisa-sisa terik. Saat itulah petang merasa terabaikan dalam-dalam.
Beberapa hal itu kemudian menjadi perkara. Bulan sengaja menghindarimu dengan melamuri cahayanya dengan cuka. Hujan berpura-pura kehabisan airmata lalu menghentikan semua nada-nada yang kau suka. Petang bersicepat menghilang agar kau tidak sempat menikmati indahnya yang bukan kepalang.
Kau menyadari itu sebagai perkara justru setelah malam bernaung dalam kegelapan mutlak. Kau tersedak. Menyalahkan mata dan benak. Kenapa abai terhadap semua kehendak yang menuntunmu supaya paling tidak sekedar tersentak. Mengagumi beberapa ciptaan yang seharusnya membuatmu terbelalak.
Jakarta, 23 Mei 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI