Mimpi mengalir dengan lambat. Tersumbat. Sepertinya malam sedang berkesumat. Terhadap rindu yang disebutnya benda berkarat. Bahkan lamat-lamat malam juga membisikkan kata keparat.
Entah kepada siapa. Tak mungkin kepada bulan yang sedang memahat janji terhadap angkasa. Membagi cahaya semampunya. Supaya tak ada yang lupa. Malam itu bukan berisi kegelapan semata.
Tak mungkin juga kepada dinihari. Dinihari adalah saat terbaik bagi malam untuk bercerita tentang sebaik-baiknya sunyi. Membasuh diri. Mengumpulkan kembali ceceran remah-remah hati. Setelah seharian mengudap caci dan menelan balik muntahan maki.
Tak mungkin pula kepada pagi. Pagi selalu memberikan pelukan sepenuh hati. Melalui embun, burung, dan semburat hangat matahari. Tentu saja pagi tak pernah pilih kasih untuk menunjukkan bagaimana cara sebenarnya mencintai.
Lalu kepada siapa malam merindu. Tersayat-sayat patahan sembilu. Kemudian memutuskan tali mimpi satu persatu. Sehingga terjerembab kelu. Di malam yang mengharu biru.
Sampit, 28 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H