Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Mimpi yang Tersumbat

Diperbarui: 29 April 2018   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

everydayhealth.com

Mimpi mengalir dengan lambat.  Tersumbat.  Sepertinya malam sedang berkesumat.  Terhadap rindu yang disebutnya benda berkarat.  Bahkan lamat-lamat malam juga membisikkan kata keparat.

Entah kepada siapa.  Tak mungkin kepada bulan yang sedang memahat janji terhadap angkasa.  Membagi cahaya semampunya.  Supaya tak ada yang lupa.  Malam itu bukan berisi kegelapan semata.

Tak mungkin juga kepada dinihari.  Dinihari adalah saat terbaik bagi malam untuk bercerita tentang sebaik-baiknya sunyi.  Membasuh diri.  Mengumpulkan kembali ceceran remah-remah hati.  Setelah seharian mengudap caci dan menelan balik muntahan maki.

Tak mungkin pula kepada pagi.  Pagi selalu memberikan pelukan sepenuh hati.  Melalui embun, burung, dan semburat hangat matahari.  Tentu saja pagi tak pernah pilih kasih untuk menunjukkan bagaimana cara sebenarnya mencintai.

Lalu kepada siapa malam merindu.  Tersayat-sayat patahan sembilu.  Kemudian memutuskan tali mimpi satu persatu.  Sehingga terjerembab kelu.  Di malam yang mengharu biru.

Sampit, 28 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline