Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Gerimis yang Ritmis

Diperbarui: 21 April 2018   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan memainkan not-not balok bernada major yang terdengar begitu gagah sampai-sampai malam menghentikan kegelapan untuk sekedar mendengarkan.  Dengan seksama.  Memastikan apakah ada ajakan untuk tertawa.  Di atas sana langit begitu murung.  Memperlihatkan wajah sendu terkurung mendung.

Memang tinggal gerimis.  Tapi iramanya yang ritmis mengiris tak habis-habis.  Menyuarakan kesunyian.  Bertempiasan di bibir pelataran.  Memperingatkan akan kesendirian.  Bagi sebagian orang yang kehilangan jejak kenangan.  Terhapus aliran air yang meluncuri jalanan dan selokan.

Jika nanti gerimis ini berhenti.  Menyisakan nada-nada ringan tentang sepi.  Wajah langit niscaya membias terang.  Siap kembali berbicara tentang bintang-bintang.  Atau mungkin kunang-kunang yang tersesat jalan.  Atau bisa juga bulan yang berkeliaran sendirian.

Apabila gerimis bertahan semalaman.  Itu tanda kebahagiaan sedang dibagi-bagikan.  Bagi keringnya hati.  Bagi tanah yang nyaris mati.  Bagi halaman yang ingin melatinya berbunga esok hari.  Bagi remang-remang yang berdoa sekuatnya agar pagi datang tepat waktu menyinari.

Bogor, 21 April 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline