Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Tanah-tanah yang Terusir

Diperbarui: 18 April 2018   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: agropopular.com

Ini bukan cerita terakhir. Tentang tanah-tanah yang terusir. Terlunta-lunta di wilayah terabaikan. Gersang. Tersudut di tenggorokan bumi yang meradang.

Ini juga bukan kisah yang segera berakhir. Hewan terbang, mengaum dan melata, menjadi fakir. Kehilangan garam dan mata air. Mau tak mau bersembunyi dalam ceruk yang menganga. Mungkin tinggal satu dua saja.

Rangkaian drama melankolia di hidup yang sebenarnya. Disusun dalam sebuah skenario paksa. Perhelatan tak habis-habis bagi hati yang mudah teriris. Lalu menangis;

Menangisi rintik hujan yang datang bukan pada musimnya. Tubuh rinainya berbau masam karena asam. Bukan karena keringat langit yang cenderung muram.

Menangisi bulan yang terpenggal-penggal. Tidak lagi diperhatikan karena layar-layar kaca banyak memamerkan baju yang berlepasan. Dari para bidadari yang tersesat di almanak yang ditandai sebagai tanggal kebutuhan akan makan.

Menangisi jeritan renta langit yang menua. Keriput dan berlubang-lubang. Ditusuk jarum-jarum raksasa bernama carbon monoksida. Dari asap mesin yang terlontar, gambut yang terbakar, dan kendaraan-kendaraan yang menggantikan fungsi akar.

Cerita ini jauh dari akhir. Masih di pertengahan fragmen dari ribuan lagi babak yang mengantri. Menanti keputusan. Bagaimana kelak tanah-tanah yang terusir. Hanya menjadi tanah-tanah tempat manusia dikuburkan. Tanpa perlu lagi batu nisan.

Jakarta, 18 April 2018  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline