Tulang-tulangku diremas waktu. Menopang keinginan yang meraja. Ingin meraih senja dalam pelukan. Membaringkan bulan di pangkuan. Bersenandung tentang hujan yang lupa pulang. Di hari ketika warna jingga hampir matang.
Aku berusaha berdiri. Menguatkan setiap sendi yang serasa berjatuhan. Menjadi serakan di halaman yang tak ingat untuk dibersihkan. Menyatu dengan sekumpulan serasah basah. Menunggu cacing-cacing tanah menariknya dalam lorong-lorong rahasia. Diurai sempurna dalam bentuk hara.
Berdiriku kaku. Sekaku patung di musium yang ditinggalkan. Mulutku membisu. Sebisu arca di puncak stupa yang kehilangan lengan.
Mesti bagaimana supaya bisa angkat bicara? Apakah harus menjelma murai batu. Berkicau tentang zaman yang semakin kacau. Atau berpura-pura menjadi serigala. Menggeram di keheningan agar cuaca tergerak untuk iba.
Kaku dan bisu. Dipahat di tubuh waktu. Mengikuti perjalanan angkanya satu demi satu.
Jakarta, 12 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H