Aku memang sengaja memancing keributan. Aku bilang untuk apa mengagungkan senja. Apa bagusnya sesuatu yang menggelap dengan cepat. Bukankah lebih baik melihat bianglala kehilangan warna di hujan sore yang merata.
Aku bukannya berpantang. Aku hanya ingin senja sadar bahwa dia bukan satu-satunya. Keindahan yang sanggup membuatku mementangkan mata.
Hampir semua orang memuja senja. Menobatkannya sebagai keindahan yang sempurna. Aku tidak. Rasanya ingin kutusukkan saja sebatang duri landak. Agar merah jingganya berpecahan. Menjadi remah buruk yang berguguran.
Aku tidak pernah mengira. Rutuk yang aku lepaskan dibawa angin tenggara. Mendarat di ujung barat. Mengacau adonan waktu yang berjalan lambat.
Akhirnya, senja datang. Kali ini dengan berang. Menatap ke arahku setajam ujung paku. Menyodorkan merahnya yang sewarna darah menghitam. Petir disuarakan. Menjerit bersahutan. Menurunkan hujan sederas kenangan yang tak ingin dikenang.
Aku menyesal seperti lelaki yang kehilangan cinta. Hari ini orang-orang luput dari bahagia. Tak bisa melihat senja datang dengan kecantikannya yang sempurna.
Jakarta, 2 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H