Pesawat yang aku tumpangi berpapasan dengan segulungan awan sedang menari. Tarian ritual bagaimana cara menjatuhkan hujan. Tubuh-tubuh itu terlalu berat. Menyangga air dalam rahim yang menghitam.
Aku yakini. Elang tak akan sampai setinggi ini. Tapi aku merasa seperti elang. Menggaris langit dengan kisah perjalanan yang epik. Juga sedikit jalang.
Menjelajahi ruang-ruang waktu yang menyediakan tubuhnya untuk dipuja dan disumpahi. Langit biru adalah langit yang bisu. Bergelora hanya bila disentuh huru hara petir dan badai matahari.
Langit yang biru seperti air yang dalam. Menyediakan sekian banyak ketenangan. Menyimpannya dalam kesepakatan yang diam.
Pesawat sedikit berguncang. Angin datang tergesa-gesa. Mungkin ada yang dikejarnya. Benar saja. Angin itu menyebarkan hujan supaya lebih merata. Membasahi keringnya bumi dan retaknya hati.
Ketika pesawat menurunkan ketinggian. Separuh rindu tertinggal di sana. Tempat aku bebas melamunkan angan agar bisa melayang. Menemui kisah-kisah bertebaran dari cinta yang hilang.
Separuhnya lagi aku simpan. Jika nanti ada saatnya aku benar-benar menjadi elang.
Sampit, 28 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H