Kesungguhan seperti apa yang mesti dipertanyakan lagi. Sedangkan dalam gelap saja aku berlari. Hanya bertumpu pada seberkas cahaya satu titik. Dari sisa airmatamu yang menitik.
Dalam gelap aku meraba hati. Barangkali ada api yang bisa dinyalakan. Memakai pemantik dari jiwa yang tak mudah terkalahkan.
Kebenaran apalagi yang harus diberi tanda tanya. Sedangkan aku sudah bersepakat dengan pinta. Untuk tidak lagi mengadukan keinginan di dalam kedinginan. Cukuplah sudah bersengketa dengan ketidaktahuan.
Dalam ingin aku menyatukan tekad. Sebulat purnama ketika datang mendekat.
Mau seperti apa yang membuat ragu. Sedangkan sembilu saja aku tandai dengan lampu. Supaya aku ingat letak sayatan masa lalu. Sehingga tak mengulang sejarah pilu lelaki yang gagal menjadi pemburu.
Dalam sayatan itu aku potret lukanya. Aku abadikan dalam album dengan kamu di sampul muka.
Bagiku. Luka sayatan masa lalu seumpama sajak sekeras batu. Tak lekang oleh waktu. Tapi bisa dibacakan selembut gerakan daun puteri malu.
Bogor, 17 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H