Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Aku Tak Boleh Lagi Bercadar

Diperbarui: 7 Maret 2018   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memilih memakai cadar bukan karena sekedar.  Bukan cuma karena aku berusaha patuh kepada Tuhan seperti yang dipikirkan orang-orang yang sealiran.  Tapi lebih dari itu.  Tak hanya sekedar itu.

Aku berasal dari sebuah keluarga petani ladang.  Bukan petani sawah yang selalu rutin menghasilkan gabah.  Bapakku bisa panen padi hanya jika ada hujan.  Tidak setiap saat lumbung kecil depan rumahku berisi ikatan padi yang belum digiling.  Seringnya malah menjadi rumah bagi para tikus yang hobi bercinta.  Sesudahnya, lumbungku terisi anak-anak tikus yang bebas berlarian.  Aman.

Aku pintar, kata guru-guru SD ku.  Rangkingku tak jauh dari rangking satu.  Kadang dua kadang tiga.  Cita-citaku setinggi angkasa.  Menjadi seorang yang berguna.  Untuk siapa saja.  Untuk apa saja. Aku selalu menjawab itu kalau ditanya guruku.  Dengan bangga.

Di SMP aku masih dianggap murid yang pintar.  Bahkan aku menambahkan kemahiran dengan kegiatan ekstrakurikuler yang tidak biasa.  Karate, tari dan gamelan.  Coba bayangkan.  Di umur segitu aku sudah mempunyai banyak keahlian.

Di SMA aku masih tak terpuaskan dengan mengikuti sekian banyak kegiatan.  Aku anggota Paskibraka tingkat kabupaten.  Aku terpilih karena aku rajin mengikuti kegiatan baris berbaris yang dilatih bapak-bapak tentara.  Aku suka.

Tapi ada satu kejadian yang cukup membingungkan aku, teman-temanku, guru-guruku, ibu bapakku.  Semenjak kelas tiga semester akhir.  Aku sering pingsan.  Tidak di dalam kelas tapi selalu di luar ruangan.  Ketika aku menjemur diriku di tengah siraman cahaya matahari saat berlatih upacara.  Ketika mengikuti pelajaran olahraga.  Ketika menanam pohon di pinggiran ladang membantu ayahku membuat ladangnya rindang.  Aku pasti pingsan.

Satu lagi yang mengherankan.  Pingsanku selalu cukup lama.  Tak kurang dari satu jam.  Seringnya malah lebih.  Aku takut.  Bapak ibuku juga takut.  Aku adalah anak yang digadang-gadang bisa membantu mereka mengentaskan pendidikan dua orang adikku yang jarak umurnya terpisah cukup jauh denganku.

Bapak ibuku sudah berumur lanjut.  Tak mungkin mereka kuat membiayai adik-adikku di usia segitu.  Akulah harapan mereka pada saatnya nanti.

------

Aku memang ditakdirkan pintar.  Aku diterima di perguruan tinggi negeri.  Aku pintar ngaji.  Jadi aku pilih masuk perguruan tinggi negeri yang berlabel agamaku di situ.  Selain punya banyak keahlian, aku juga ingin memperdalam ilmu agamaku yang aku rasa masih sangat kurang.  Aku bahagia diterima kuliah di sana.  Bapak ibuku juga.  Paling tidak yang ada di benak mereka, aku nanti bisa jadi guru bagi adik-adikku.

Aku mendapatkan beasiswa yang cukup sehingga tidak perlu terlalu banyak merepotkan bapak ibuku.  Aku tetap aktif di kampus.  Terutama di bidang keagamaan.  Bersama teman-teman yang tidak pernah mau aku seleksi sebelumnya.  Aku menyukai berteman dengan siapa saja.  Karena cita-cita terbesarku adalah berguna bagi siapa saja.  Sesederhana itu saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline