Pernah dulu. Ketika waktu masih seangkuh batu. Kau mekarkan bunga di pagi yang masih terkantuk. Wangimu lalu hanya bisa dirasakan sejauh lemparan asap periuk. Aku memandangi bungamu dari kejauhan. Takut mendekat sebab halamanmu dijaga begitu ketat.
Pernah kita. Berdiri di pantai yang juga berbunga. Tangkainya dari terumbu yang lepas dari lantai samudera. Kelopaknya dari pecahan sisik barakuda. Wanginya campuran antara garam dan puncak gelombang. Aku serasa seperti anak hilang yang ditemukan.
Pantainya berdiam. Lama. Tak peduli betapa keributan sudah dimulai oleh angin. Menerbangkan pasir-pasir kecil yang tak kuat bertumpu di pesisir yang rapuh. Tersangkut di punggung bukit yang melepuh. Terbakar kesunyian. Karena memang tinggal jauh dari kegaduhan.
Setangkai bunga itu ikut berdiam. Tidak lama. Karena harus segera menghimpun wanginya dalam peti. Esok hari akan datang seorang lelaki. Dulu pernah bersama mencoret-coret mimpi yang belum jadi.
Jakarta, 7 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H