Ketika jam pasir meruntuhkan butir-butir waktu. Lalu kau bersimpuh di depan cermin untuk mengadu. Aku justru sedang menuntaskan lunas kapal agar bisa berlayar. Aku nobatkan kau sebagai nahkoda. Sementara aku jarum penunjuk arahnya.
Tujuh kali aku harus menghitung rasi bintang yang berjatuhan dalam bentuk ramalan. Kemudian kau memungutinya tidak sesuai angka. Kau bilang hanya lima. Dua lagi tersangkut di pucuk cemara. Katamu untuk penerang kalau purnama tak jua tiba.
Suatu saat kau menajamkan lupa pada ingatan yang terlunta-lunta. Setelahnya kau berkata tentang nama-nama bunga tanpa cela. Aku kebingungan. Kau malah menyodorkan tawa berulang-ulang.
Bila satu masa kau berjumpa dengan kenangan yang dulu menjauhimu. Kau ambil satu. Kau bungkus dengan hati-hati. Katamu hendak kau simpan dalam almari. Banyak ruang kosong yang telah bersih kau cuci. Sewaktu-waktu aku buka agar aku tak lupa lagi. Begitu katamu berulangkali.
Jam pasir terus meneteskan waktu . Saatnya memadamkan lampu yang kau tuduh tak mau bercumbu. Menemanimu mencari reruntuhan terumbu untuk menyarangkan rindu.
Jakarta, 20 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H