Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Satu Titik Tanpa Koma

Diperbarui: 7 Februari 2018   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tengah malam belumlah tiba.  Tapi kegelapan sudah benar-benar meraja.  Pesan-pesan bersliweran.  Dari binatang malam yang mensunyikan diri dengan tidak bersuara.  Dari udara dingin yang menggigilkan hati dengan tidak mencantumkan pertanda apa-apa.

Saat nanti lonceng berdentang.  Itu berarti si anak hilang telah pulang.  Anak hilang yang dibawa sepertiga malam.  Mengembarai kalimat dan ayat-ayat.  Sampai dimana sebetulnya sekarang jauhnya kiamat.

Ketika gonggongan anjing yang ketakutan melihat bayangan berhenti.  Maka itulah waktu yang tepat untuk kembali menggali.  Serpihan diri yang dikumpulkan pelan-pelan.  Setelah sesiangan mencumbui palsunya angan-angan.  Sampai pada kesimpulan bahwa cermin yang retak adalah gambaran jiwa yang mengerak.  Berikut semua lusuh dan letih yang dipaksa untuk beranak pinak.

Apabila tengah malam telah terlewati.  Seketika itu juga rubuhlah separuh dari mimpi.  Cukup untuk menjinakkan perangai yang dilahirkan dari dengkur tak berguna.  Digantikan serenada yang tak usah lagi dimaniskan dengan guyuran gula.

Seumpama pagi menagih hutang janji.  Sampaikan sederetan kata yang tercerabut dari dinihari.  Telah dimulai perhitungan angka-angka satu sampai tiga.  Waktu dimana mata ditujukan pada satu titik tanpa koma.

Jakarta, 7 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline