Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Pagi yang Bersahaja

Diperbarui: 4 Februari 2018   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Belum pernah ada pagi seredup ini.  Tipis menggaris langit seperti bibir cemberut seorang puteri yang kehilangan konde di malam sebelumnya.  Padahal ada pesta yang harus dihadiri.  Pesta seorang penyair yang ingin mensyiarkan puisi-puisinya yang pandir.

Pagi nampak sangat bersahaja.  Berbela sungkawa terhadap sungai-sungai yang berhenti mengalir.  Tersendat rumpukan sampah menggila.  Plastik dan bekas lipstik membentuk bukit.  Memberikan pemandangan yang sungguh membuat mata sakit.

Setiap hari pertaruhan terus terjadi.  Melanjutkan hidup dengan menyakiti bumi.  Atau mempahitkan hidup dengan menjaga bumi.  Paradoksal yang menyiksa.  Tentu saja.

Pertaruhan yang bukan main-main.  Bumi menjadi sebuah meja judi.  Tumpukan kartu dan dadu tentang mempercepat kematian berikut upah yang menggiurkan berserak di atasnya.  Tinggal lempar dan buka, maka lubang di langit akan semakin menganga.

Gunung-gunung dingin yang menjulang bisa sangat kepanasan.  Menumpahkan jutaan galon bagi air-air baru yang dilahirkan.  Menambah lusuh muka lautan.  Hingga merambah dan menjamah tempat-tempat yang semestinya kering.  Tempat orang-orang bercocok tanam untuk sajian di piring.

Pagi yang nampak bersahaja kali ini.  Bisa jadi adalah alarm yang dibunyikan semenjak dini.  Hati-hati.  Bumi bukan sekedar bulatan mati yang tak bisa membela diri.

Bogor, 4 Januari 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline