Lambaian cemara di malam yang mulai terlarut dalam kegembiraan jangkrik dan ngengat. Tepat ketika separuh wajah sawah yang masih terlihat berwarna emas di bawah cahaya remang-remang, ikut bergemerisik seperti anak-anak mungil yang berisik. Kegembiraan yang melebihi sorak sorai awak kapal perang yang berhasil menenggelamkan kapal musuhnya.
Cemara tak pernah ditakdirkan memiliki lengan-lengan perkasa. Lebih mirip sirip-sirip ikan terbang yang terpancang di dahan kecil tempatnya bertopang. Namun tak ada sejarahpun yang bisa menyangkal bahwa Cemara adalah salah satu keajaiban yang disediakan oleh dingin yang menggigil untuk mempertahankan kehangatannya.
Kerumunan cemara di pinggang gunung ibarat sentuhan sihir para Malaikat yang tertidur pulas karena kelelahan menghitung dosa yang beranak pinak tak tentu jumlahnya. Menjaga mereka tetap disentuh oleh kesejukan dan tidak melampiaskan kemarahan secara membabi buta.
Lambaian kecil cemara di malam saat angin hanya berdiam diri. Serupa dengan lambaian selamat jalan pasir pada gelombang yang mempermainkannya. Sama dengan lambaian air yang terlepas dari gemuruh jeram pada batu-batu yang mengikatnya. Tak berbeda dengan lambaian setangkai bunga kepada lebah yang memindahkan benangsari terhadap putik yang membutuhkannya.
Itu semua adalah lambaian terimakasih dari seorang kekasih yang merindukan surat cinta berwarna merah muda tiba sebelum berucap rindu saat mulai memejamkan mata dalam tidurnya.
Bogor, 3 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H