Puisi yang dimulakan oleh hati yang hanya sanggup menduga. Sampai dimana pesan yang tadi dititipkan kepada elang. Apakah sudah sampai di penghujung senja. Atau memilih tersangkut di pucuk angsana.
Puisi ini ditulis tanpa sedikitpun menaruh syak wasangka. Kepada langit yang menyaksikan gempa datang tiba-tiba. Lalu memalingkan muka tidak tega. Melihat tubuh terjerembab. Wajah-wajah mengeriput sembab.
Menyalakan puisi tidak perlu menggunakan api. Cukup dengan menggelengkan kepala berulangkali. Terhadap ketidakadilan. Terhadap ketidakpedulian. Terhadap ketidakacuhan. Maka apinya akan menyala setinggi pertahanan hati. Jadilah sebuah puisi yang membakar. Semangat, kasih dan cinta hingga berkobar.
Akhirnya pesan akan tersampaikan. Meski tidak secara lisan. Ini adalah pesan tentang kebenaran. Atau setidaknya pesan yang tidak dibungkus kerumitan.
Sampit, 27 Januari 2018