Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Episode Puisi dari Pojokan Jakarta (3)

Diperbarui: 27 Januari 2018   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Udara merambat dengan lambat.  Mencengkeram bahu-bahu penat para pemikul beban di pelabuhan yang diramaikan pula oleh terjunnya burung camar pencari ikan.  Mencukil permukaan air dengan paruh terbuka.  Memamerkan seekor ikan segar menggelepar untuk menutupi rasa lapar.

Udara menambah kecepatan.  Tak tega melihat mata cekung yang memantulkan mendung.  Dari orang-orang yang memeras setiap tetes keringatnya agar hari ini tidak jadi berkabung.  Cukup beras untuk dipanasi di panci yang pantatnya menghitam bukan karena asap tungku dapur.  Namun karena terlalu sering dijemur dan diludahi oleh Jakarta saat berkumur polusi.

Udara berhenti.  Berniat menyusup ke dalam hati para pejuang pemberani yang dipanggang terik matahari.  Memompa jantungnya sekuat unta.  Mengalirkan aliran darahnya sehebat kuda.  Memberinya kekuatan badai.  Siapa tahu besok Jakarta kembali bersikap lalai.

Jakarta, 26 Januari 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline