Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Staccato dari Orkestra Hati

Diperbarui: 17 Januari 2018   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (alecegarra.com)

Letih menghujani seumpama gerimis yang enggan melarikan diri. Merajam atap rumah seolah hentakan staccato dari sebuah orkestra yang dipanggungkan oleh para penjaga hati. Jangan berhenti. Aku butuh nada-nada tinggi untuk mengingatkan tentang peduli.

Udara pagi memelintir gedung-gedung yang menjulang menantang langit.  Terpendam rasa sunyi yang mencekam di matanya yang terbuat dari kaca terang. Keseharian yang dirasakan semembosankan mengumpulkan pasir di seluruh pesisir untuk kemudian diaduk bersama air sungai yang diberi garam. Sedangkan kelimpahan asin air lautan sungguh-sungguh diabaikan.

Sore hari udara mendadak bertindak kejam. Menumpahkan hujan sebesar biji kacang. Membasahi segala lusuh yang menumpang di bibir-bibir merah polesan. Alunan orkestra berubah menyayat permukaan mata yang mau tak mau memutuskan untuk membuta. Untuk apa melihat kesana kemari jika melangkah saja harus terjungkal di sana sini.

Biarlah seperti ini. Mungkin sudah saatnya orkestra berhenti. Biarkan saja Legato mengambil alih Staccato. Seperti layaknya keberanian membumi hanguskan ketakutan.

Jakarta, 16 Januari 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline