Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Surat Kesembilan untuk Melati

Diperbarui: 20 Agustus 2017   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sejumput kenangan beterbangan mengililingi benakku.  Kenangan akan secangkir kopi yang kita habiskan berdua ketika seisi kepala berisi berita tentang Bosnia dan Palestina.  Aku tidak ingat itu merk bubuk kopi apa, tapi rasanya masih tercekat di leher sebagaimana puteri malu yang tak pernah berhenti berteka teki kenapa dia malu.

Aku bertaruh dengan cemara depan rumahku, apakah hujan hari ini akan membasuh kotoran dan wasangka yang mengerubungi rongga dada. Ataukah hanya sekedar bertamu di halaman, membasahi serai dan lidah buaya, lalu pergi berpindah ke ujung sungai kecil di sebelah sawah yang terlantar.

Hari ini aku banyak berbicara tentang pahit karena sudah hafal seperti apa rasanya.  Kalau kau mau tahu sejelas apa maka pandanglah kereta yang lewat di belakang rumahmu, dengarkan bagaimana terompetnya bersuara tak berdaya karena harus lewat tempat yang itu itu saja.  Bayangkan segelas limun dingin yang esnya kau buang lalu kau letakkan di atas perapian, kau minum dan berharap dinginnya tetap menetap.

Aku tidak perlu menjelaskan.  Itu sudah jelas.  Sejelas bola kaca dunia yang rapuh dan terbuat dari peluh lalu disentuh panas dengan sengat berpuluh puluh.  Bukankah itu disebut melepuh? 

Bogor, 20 Agustus 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline