Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Sebuah Ode untuk Ibu

Diperbarui: 23 Juni 2017   22:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lebaran itu.....

Ibu, aku masih ingat tempat kau dulu duduk di teras dengan benang rajutan di tanganmu.  Berkali kali kau harus membetulkan letak kacamatamu yang hampir terjatuh.  Terus bertempur memasukkan benang pada lubang jarum tanpa mau dibantu.

Beginilah sebuah perjuangan nak, selama kau masih yakin maka berusahalah sampai kau merasa sudah waktunya dibantu.  Ingat nak, itu bukan namanya menyerah.  Dan itu juga bukan namanya kalah.

Ketika kau berhasil memasukkan benang itu, matamu berbinar seperti kejora.  Kau lanjutkan dengan menjahit satu demi satu kancing bajuku yang terlepas.  Dengan tekun dan penuh kasih.  Seolah itu adalah mustika bertuah yang harus kau jaga selalu.

Aku memandang keriput di wajahmu.  Garis garis itu aku ingat seperti bianglala tak berwarna.  Sungguh indah tak terbantahkan.  Kau melihatku sejenak sambil tersenyum.  Senyum itu sehangat khatulistiwa.  Ah Ibu, bagaimana aku bisa melupakan senyummu itu.

Kau berdiri dan pergi ke dapur.  Entah membuat apa di tungkumu.  Yang pasti setelah itu aku tahu.  Kau akan menawarkan sesuatu kepadaku.

Ibu membuatkan sayur kesukaanmu.  Pedas bersantan.  Ibu selalu membuat ini meski ada saatnya kamu lebaran tidak pulang nak.  Ibu merasakan kasih yang mengikat dari sayur panas yang kau makan hingga matamu terpejam kepedasan.  Ibu teringat saat kamu kecil dan merengek meminta baju lebaran.  Wajahmu persis sama dengan itu.

Aku tidak pernah menolaknya Ibu.  Aku pasti akan mengambil sepiring nasi dan sayur itu.  memakannya di sampingmu yang hanya asyik memandangku.  Lalu menyodorkan segelas air dari gelas seng terkelupas.  Setelah melihatku berkutat dengan keringat yang membanjiri wajah dan leherku.  Kau ambil ujung kebayamu.  Menghapus keringatku sambil berkata lirih.

Nak, keringat selanjutnya setelah kamu kembali ke Jakarta kelak, bukanlah keringat karena kamu kekenyangan.  Tapi keringat yang kamu sumbangkan untuk lelah bagi orang orang yang membutuhkanmu.  Bukan hanya keluargamu, namun juga sesamamu.

Aku terpana saat itu Ibu.  Itu adalah pesan dari malaikat.  Aku mencatatnya baik baik dalam hatiku.

---------

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline