Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Jalan Sunyi

Diperbarui: 13 Juni 2017   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Waktu itu sunyi mengurung diri. Begitu ketat...begitu gelap...hanya setitik sinar yang menyeruak. Sinar yang datang dari pedih anak anak tak beruntung.  Anak anak yang mandipun kekurangan sabun.  Anak anak yang menghitung berapa jumlah butir nasi di piringnya, agar esok tetap ada butir nasi dengan jumlah yang sama.

Lalu ada cakrawala mendekat.  Memperlihatkan wajah bulan yang bercahaya. Menampakkan tirus kejora yang redup membara. Menjanjikan matahari sesejuk puncak gunung saat malam tiba.

Purnama kemudian berlari melewati masa. Hening dan sepi hanya sekedar menjadi penumpang. Tawa anak anak itu adalah tawa yang dikumpulkan dari surga. Sedih anak anak itu adalah airmata yang sebenarnya airmata.

Hunjaman halilintar tiba tiba membangunkan. Setengah perjalanan itu ternyata mata palsu dari fatamorgana. Jalan sunyi tidak hanya tak terlewati. Namun kembali menghadang seperti perompak di tengah lautan.

Aku terluka parah.

Tapi aku tidak patah.

Aku adalah pejalan kaki yang selalu memilih jalan sunyi.

Dan itu akan kulakukan lagi.

Walau badai dan petir mengancamku untuk berhenti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline