Suara langkah kaki Prolet yang tergesa gesa menembus kerumunan kaki kaki orang yang saling melangkah bersilangan, seperti ketukan nada nada khawatir dan rindu yang menyawai Minuet in GSebastian Bach.
Menaiki tangga stasiun Gambir yang cukup curam tanpa menggunakan lift atau eskalator cukup menguras tenaga. Iramanya lebih mirip dengan petikan buas Izzi Stradlin. Prolet yang terbiasa olahraga mengangkat galon aja terpaksa harus menerima dirinya ngos ngosan begitu sampai di peron keberangkatan.
Dan tepat waktu! Pintu sudah mau ditutup ketika Prolet menarik tubuhnya memasuki gerbong 5 kereta api Gajayana. Sambil melemparkan penat ke tempat duduk, Prolet mencoba merunut ketergesaannya hari ini.
----
Pagi saat masuk kantor dan sedang asyik mengerjakan tugas rutinnya. Prolet dikejutkan dengan kabar dari Solo. Pamannya mengabarkan bahwa si mbok nya masuk rumah sakit mendadak. Entah sakit apa. Prolet langsung diserang panik. Si mbok nya adalah orang tradisonal yang selalu menjaga kesehatan sedisiplin tentara Korea Utara. Tidak makan sembarangan. Rajin berolahraga dengan cara berkebun. Tidurpun selalu dijaga tidak kurang 8 jam tiap harinya.
Jika sampai si mbok nya sakit, itu bukan perkara enteng. Pastilah ada apa apa. Belum apa apa Prolet sudah merasakan rasa bersalah setengah mati. Beberapa bulan terakhir ini dia jarang sekali menelepon si mbok nya. Kiriman uangnya tidak pernah telat, tapi berkomunikasi rasanya jarang sekali dia lakukan.
Duuhh padahal si mbok nya hidup sendiri di rumah. Prolet semakin gelisah. Matanya terantuk pada seekor kupu kupu yang tersesat jalan dan sekarang menempel di kaca jendela. Corak dan warna pada sayap kupu kupu itu seperti mata tajam yang sedang melemparkan tuduhan kepada Prolet. Prolet balas menatap. Merutuk pelan. Rasa bersalahnya sekarang sudah sampai ke tenggorokan.
----
Dinihari menjelang subuh, Gajayana merapatkan tubuhnya dalam pelukan Stasiun Solo Balapan. Prolet melompat turun dan setengah berlari menuju pintu keluar. Sepanjang jalan dia tidak bisa tidur. Memikirkan bagaimana keadaan si mbok nya. Apalagi pamannya sama sekali tidak bisa dihubungi. Semakin gaduh saja pikiran Prolet mereka reka.
Prolet melompat ke taxi yang sedang manggut manggut kesepian di halaman stasiun.
“Rumah Sakit Dr. Oen nggih mas...” Prolet menyebutkan tujuan sembari menutup pintu taxi buru buru.