Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Surat Kelimabelas untuk Neng

Diperbarui: 25 Mei 2017   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kali ini suratku agak panjang neng.....

Banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu.  Aku tidak ingin menyimpannya sendirian dalam sel sel otakku yang sudah cukup pengap.  Kurang udara di sana.  Jendelanya sudah banyak terkunci agar memori memori tidak berlepasan seperti kuda liar.  Sebenarnya aku ingin menyimpannya beberapa.  Membuangnya juga beberapa.  Tapi itu tidak mungkin neng.  Itu bukan kuasaku.  Aku harus terbiasa menerima pahit seperti juga aku begitu bergembira ketika menelan manis.

Aku sedang membiasakan diri untuk tidak mengutuk neng.  Dunia tempat kita bertempat tinggal sekarang begitu hingar bingar.  Kau tahu masih banyak peperangan bukan? Di mana mana.  Timur Tengah, Latin Amerika, Afrika, Asia, semuanya bergumul dengan keberingasan tak henti henti.  Orang mungkin bilang dengan gagah bahwa itu mempertahankan prinsip neng.  Tapi prinsip apa sih yang bisa lebih tinggi dari Kemanusiaan dan Ketuhanan? Aku rasa tidak ada neng.  Orang orang itu barangkali hanya lupa atau tidak ada yang mengingatkan.  Aku merasa bahwa lupanyapun sudah terlalu dalam.  Aku pikir yang bisa mengingatkan hanya satu.  Yaitu kiamat dari Tuhan.

Dan itu sudah dimulai neng.  Aku bertanya kepadamu.  Apakah akhir akhir ini kamu sering kegerahan? Panas yang waktu kecil dulu hanya seperti percikan nyala lilin yang mencubit cubit, sekarang berubah menjadi lentingan bara sebesar batu bata? Beterbangan melukai dan membuat cedera.  Itu karena lubang di atap langit sudah terluka di sana sini neng.  Bumi sekarang sedang dipanggang oleh kiriman badai matahari.  Itu bukan salah matahari.  Sudah pasti.  Matahari hanya menjalankan kewajiban.  Perintah dari Tuhan Semesta Alam. 

Sementara anak anak bumi melalaikan kewajibannya untuk menjaga dengan baik hak haknya.  Merusak hutan, menghancurkan mata air, menciptakan bad teknologi, memboroskan energi.  Bukan main neng.  Banyak cara untuk menuju kehancuran.  Dan manusia melakukan semuanya.  Sekaligus.

Neng, apakah Tuhan tidak adil? Menciptakan gudang gudang gandum dan beras berlimpah di satu sisi, sementara di sisi yang lain perut perut buncit kelaparan memamerkan kepedihan di internet dan televisi?  Aku rasa bukan itu.  mana ada sih konsep agama manapun yang menyebutkan ketidakadilan Tuhan?  Itu seperti sebuah pendulum keseimbangan neng.  Jika terlalu banyak orang kenyang, maka orang akan lupa pada empati akan lapar. Empati bisa hilang dari permukaan bumi.  dan itu bahaya.  Karena orang orang lalu dikuasai oleh antonimnya, apriori.

Baiklah.  Sekarang aku ingin bercerita tentang negara kita.  Aku terus terang bangga dengan kewarganegaraanku neng.  Aku bangga dengan sejarah bangsa ini.  Begitu megah berkibar kibar.  Jelas jelas bukan bukan bangsa pengemis atau penyerah yang pasrah.  Bahkan seorang profesor yang dicap sinting menyebutkan nusantara ini adalah antartika yang hilang.  Benar atau tidaknya?  Wallahu Alam.  Yang pasti, bangsa ini adalah bangsa yang dibesarkan oleh darah, bukan anggur merah.  Diasuh oleh airmata, bukan menjadi peminta minta.  Dilatih oleh terik matahari, bukan musim dingin yang sunyi.  Diajari oleh malam yang datang secara teratur, bukan janji janji musim gugur.

Hanya saja, ada sesuatu yang hilang neng.  Terlalu banyak pertengkaran.  Dipicu oleh kotak kotak yang dilukis dan diciptakan sendiri.  Hiruk pikuknya sungguh sungguh melelahkan.  Bayangkan, masing masing kotak punya bendera sendiri, lagu kebangsaan sendiri.  Lalu Sang Saka dan Indonesia Raya menjadi nomor berapa neng?

Beberapa hari lagi sudah masuk bulan Ramadhan.  Selamat menjalankan ibadah puasa ya neng.  Aku harap kau tetap sehat supaya bisa mengejar mimpimu.  Menyusun tujuh huruf sederhana menjadi kata bermakna bagi sesama.  Bahagia.  Bagi anak anak tak beribu bapa dan atau terlupa. Lalu kau bisa menambahkan kalimat yang selalu kau suka.  Bahagia itu sederhana, saat anak anak itu menatapkan matanya penuh harap ke langit,  bukan mengecap seribu pahit dengan tertunduk menghunjam bumi.

Kau bertanya padaku? Bagiku, bahagia itu sederhana, yaitu saat kau berpaling dan tersenyum mesra, saat melihatku sedang berdiri di sampingmu, hingga akhir usiaku.

GA 187, 25 Mei 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline