“Hiks hiks hiks......” suara lirih tangis memecah kesunyian pagi. Prolet menoleh cepat. Cindy, salah satu teman seruangan kerja menutupi muka. Terisak isak. Kebetulan pagi ini ruangan masih sepi. Hanya dia dan Cindy yang sudah datang. Prolet ragu ragu. Haruskah dia mendatangi gadis itu dan mencoba menghiburnya?
Suara isak Cindy makin melemah. Tapi pundaknya semakin berguncang guncang. Tanda bahwa hatinya sedang sangat terguncang. Prolet berdiri dan menghampiri.
“Cindy, apa ada yang bisa aku bantu untuk meredakan pikiranmu?....mungkin tissue atau sekotak biskuit?” Prolet heran dia bisa selancar ini berbicara dengan perempuan.
Cindy mengangkat muka. Wajahnya sembab. Terkejut melihat Prolet berdiri tepat di depannya dengan wajah takut takut. Cindy mau tidak mau tersenyum tipis. Pemandangan di depannya lucu. Dia yang sedang sedih tergugu gugu, malah pemuda di depannya ini yang berwajah begitu pilu.
Melihat Cindy cengar cengir, Prolet berubah air mukanya. Memerah meski tak kentara. Gadis yang aneh.
“Aku....aku sedang patah hati Prolet. Pemuda yang aku sukai ternyata tidak jelas sikapnya. Aku merasa digantung seperti lampu di langit langit. Dinyalakan saat dibutuhkan. Dimatikan saat tidak diperlukan.”
Prolet menatap Cindy agak lama. Hmmm seorang gadis pemburu rindu dan cinta.
“Kamu yang harus tegas Cindy. Tunjukkan itu dengan bertanya kepadanya. Ya atau tidak. Itu saja. Jika kau terus terusan begini, maka kau akan lelah karena memburu rindu.”
----
Prolet setengah berlari menuju kantornya. Dia hampir terlambat. Saking terburu burunya, hampir saja Prolet bertabrakan dengan seorang bapak perlente yang tengah berjalan menunduk menuju Musholla.
Prolet harus memegangi si bapak agar tidak terjatuh. Tergopoh gopoh Prolet meminta maaf kepada si Bapak. Pria itu hanya mengangguk angguk lemah. Sama sekali tidak marah.