Marni meliukkan tubuhnya mengikuti irama gamelan. Begitu gemulai. Begitu sempurna. Dunia seperti sedang berada dalam genggamannya. Saat dia melemparkan kerling memikat, angin berpusar menuju ke arahnya. Ketika dia mengayunkan selendangnya ke udara, tak sedikit daun daun di bawah panggung luruh dari pohonnya. Waktu dia menggerakkan kaki tangan dan membuatnya seirama, serempak air di pancuran sendang samping rumah berhenti mengalir.
Itulah yang terjadi jika Marni sedang latihan menari di panggung depan joglo rumahnya. Marni dan ibunya, Lastri, juga tidak tahu kenapa itu terjadi. ibunya mengatakan itu kebetulan. Sedangkan Marni menganggap itu keistimewaan. Marni menganggap ibunya bohong. Gadis remaja itu yakin ibunya pasti tahu sesuatu. Ini tidak lumrah. Marni hanya kadang kadang melihat ibunya melipat secarik kain kebaya yang terlihat usang sambil bolak balik menatap dirinya dan kebaya itu bergantian.
Marni belum pernah manggung di depan penonton yang sesungguhnya. Lastri melarang. Gadis itu masih SMA. Ibunya ingin dia berkonsentrasi sekolah. Dia tidak ingin Marni menjadi penari seperti dirinya. Dia hanya melatih anaknya menari sebagai kebisaan dan ketrampilan saja. Menjadi penari memang bisa cukup menjamin hidup karena masih banyak orang yang menyukai tarian tradisional di desa desa. Sehingga Lastri selalu saja mendapat order menari. Tidak pernah sepi. Namun menjadikan anaknya berprofesi sama sepertinya? Tidak! Marni harus jadi dokter.
----
Ayah Marni sudah lama tiada. Saat Marni baru saja bisa berjalan tertatih tatih. Usia Lastri saat ditinggal suaminya masih sangat muda. Penari Lastri yang terkenal. Penari Lastri yang janda kembang. Begitu orang orang kaya saat itu menyebutnya. Berduyun duyun pemuda tampan dan mapan, pria kaya, lelaki terkemuka, mencoba mendekati Lastri untuk mempersuntingnya. Ada yang memang jatuh cinta namun tidak sedikit juga yang hanya ingin sekedar mencicipi tubuh molek si janda muda.
Tidak ada satupun yang berhasil. Lastri rupanya memutuskan bahwa jatuh cinta hanya tiga kali. Kepada Joko, mendiang suaminya. Kepada Marni, buah hatinya. Dan yang terakhir kepada tariannya. Lastri memutuskan melanjutkan hidup berdua dengan putrinya. Cukup dibantu oleh Mbok Mah pembantu setianya yang mengasuh Marni saat Lastri pergi keluar desa untuk menari.
Semua peminang Lastri mundur teratur. Kecuali satu orang. Juragan Minto. Seorang juragan kaya raya yang memiliki sapi ratusan ekor, sawah berhektar hektar dan toko di mana mana. Juragan Minto jatuh hati setengah mati kepada Lastri. Berbagai bujuk rayu dan iming iming tak henti henti dilakukan oleh Minto. Tak satupun mampu menggoyahkan hati Lastri. Dia selalu menggelengkan kepala bahkan saat mobil mewah Juragan Minto baru mau berbelok masuk rumahnya. Sudah paham apa yang akan ditawarkan Juragan Minto saat melamar ingin memperistrinya.
Dua puluh kali lebih! Barangkali. Lastri sampai tak hapal berapa tepatnya Juragan Minto telah berbicara langsung melamarnya. Yang dia tahu, duda klimis kaya raya itu memang tidak akan pernah berhenti untuk mencoba meminangnya.
----
Sampai Marni beranjak remaja, paling tidak satu kali dalam enam bulan, Juragan Minto akan datang ke rumah Lastri untuk melamarnya. Jawaban Lastri selalu sama.
Sampai akhirnya batas kesabaran Juragan Minto habis. Cintanya yang setengah mati berubah menjadi dendam setengah mati. Saat kedatangannya yang sekian ratus kali, Juragan Minto menggunakan kekerasan. Centeng-centengnya yang tinggi besar menangkap tubuh Lastri yang mencoba melarikan diri sambil menutup pintu melihat gelagat mereka yang tidak baik. Namun terlambat. Lastri tidak bisa berteriak karena mulutnya disekap. Dia hanya bisa meronta ronta sewaktu diseret masuk mobil sedan mewah Juragan Minto.