A. Definisi Tarekat
Secara etimologi, tarekat berasal dari kata, "" (arqah), merupakan bentuk dari kata benda -- dengan makna jalan atau cara "al-kaifiyyah", metode, system "al-uslub", aliran (al-mazhab). Dalam konteks penggunaan istilah ini, tarekat mengacu pada jalan yang diikuti untuk mencapai keridhaan Allah. Definisi lainnya menjelaskan bahwa tariqah adalah seorang calon sufi yang harus menempuh lintasan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan sebanyak mungkin. Selain itu, tarekat juga mencakup konsep organisasi (tarekat) yang melibatkan seorang Syeikh, upacara ritual, serta praktik dzikir dan wirid. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah perjalanan spiritual yang diemban oleh para pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tarekat telah dijelasakan oleh beberapa ahli tawasuf. Para ahli tawasuf mengemukakan tujuannya. Yakni, dengan mencari keridhoan allah SWT dengan cara riyadlah, memerangi nafsu, serta menyucikan diri dari sifa-sifat yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat (tercela). Pada dasarnya, tarekat bertujuan untuk mengokohkan iman yang ada pada hati para pengikutnya, sehingga tidak ada yang lebih indah dan dicintai selain Tuhan, dan cinta tersebut melampaui perasaan terhadap diri sendiri dan dunia. Dalam perjalanan menuju tujuan ini, seseorang harus memiliki ikhlas, menyucikan semua tindakan dan niatnya, merasakan bahwa Tuhan senantiasa mengawasi setiap langkahnya (muraqabah), melakukan introspeksi terhadap perbuatan baik dan buruknya (muhasabah), dan melepaskan segala keterikatan yang menghalangi perjalanan menuju jalan tersebut (tajarrud).
Hal ini bertujuan agar individu dapat membentuk karakter yang memungkinkan jiwa mereka dipenuhi oleh Isyq, yaitu rindu tak terbatas kepada Tuhan. Maka kecintaan kepada Tuhan dapat melebihi cinta terhadap diri sendiri dan seluruh alam semesta yang ada di sekelilingnya. Abu Bakar Aceh mendefinisikan tarekat sebagai sebuah jalur atau pedoman yang digunakan dalam menjalankan ibadah yang telah dicontohkan sesuai dengan ajaran Nabi dan juga dipraktikkan oleh para sahabat dan generasi penerus mereka dengan berkesinambungan, melalui guru-guru yang memberikan bimbingan dan kepemimpinan. Para guru ini dikenal sebagai Mursyid, dan mereka mengajar serta membimbing murid-murid setelah menerima izin atau wewenang dari guru mereka, seperti yang tercatat dalam silsilahnya.
Oleh sebab itu, tarekat distilahkan didalam ilmu tasawuf mempunyai dua konsep yang berbeda. Konsep yang pertama ialah untuk Pendidikan akhlak dan jiwa terhadap tiap-tiap individu dalam mengikuti jalan hidup sufi. Selanjutnya yang kedua ialah setelah selesainya metode yang pertama yakni pada bab sebelas atau tahun ketiga hijriah, metode ini meperolehkan makna untuk sebuah Gerakan yang komperhensif, yakni dengan memberikan Latihan kepada kelompok atau individu umat Islam yang didasarkan prinsip-prinsip serts keyakinan yang dianut.
Pada penjelasan pengertian yang pertama tarekat di artikan masi bersifat terbebas dari asosiasi apapun. Yang mana tarekat ini menajadi sebuah pedoman untuk memperdalam ilmu syariat, dan kemudian mencapai pemahaman yang lebih dalam melalui berbagai "maqamat" dan "ahwal" atau tingkat pendidikan tertentu. Dengan cara yang serupa, tarekat juga dipahami sebagai upaya pribadi seseorang dalam menjalani perjalanan spiritual menuju Allah SWT. Dalam konteks ini, tarekat melibatkan pelaksanaan kewajiban dan sunnah, menghindari perbuatan yang diharamkan, menjauhi perilaku secara berlebi-lebihan, dan juga berusaha selalu berhati-hati dengan upaya mujahadah dan riyadhah.
Dalam pengertian kedua, tarekat adalah sekelompok persaudaraan yang didirikan sesuai dengan peraturan dan perjanjian khusus yang berfokus pada praktik-praktik ibadah dan zikir yang dilakukan bersama dengan berpegang pada aturan tertentu. Kegiatan ini memiliki aspek formal (keduniaan) dan keagaamanan (akhirat). Dengan penejelasan dari pengalaman sufi yang telah banyak penguikutnya dari murid muridnya. Serta kegiatan tersebeut juga merupakan suatu kegiatan untuk mendekatkan diri kepada allah swt. Sufi berpengalaman akan mencakup meto dedzikir, doa doa serta riyadha bahkan akan di anggap berhasil mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Aturan-aturan ini telah dirinci sedemikian rupa dan harus diikuti oleh para murid tarekat.
Tarekat ialah merupakan sebuah usaha untuk melakukan pendekatan kepada allah dengan melakukan dzikir yang banyakk kepadanya. Akan tetapi tarekat merupakan pengelaman pribadi yang mana penggunanya memiliki perbedaan dari satu individu dan individu lainnya. Dengan ini dinyatakan bahwa tidak ada Batasan dalam melakukan tarekat dikarenakan setiap individu harus melakukan serta mencari sendiri dengan bakat serta kemampuan yang dimilikinya serta kebersihan hati tiap masing masing.
B. Unsur-Unsur yang Terkandung didalam Tarekat
Dalam suatu tarekat, terdapat setidaknya lima unsur penting yang menjadi dasar pembentukannya:
1. Mursyid
Mursyid, yang telah mencapai tingkat mukasyafah, di mana hubungan antara dirinya dan Tuhan telah terbuka. Mursyid memiliki peran untuk menemani dan membimbing individu yang sedang menjalani perjalanan spiritual agar bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang telah dia alami dalam pengalaman pribadinya. Dalam konteks tarekat, seorang guru atau mursyid memiliki kedudukan tertinggi karena dia tidak hanya mengajarkan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga memberikan contoh tentang cara menjalankan ibadah yang benar, baik secara syar'i maupun hakikat.
Adapun kriteria menjadi seorang mursyid yakni:
Mursyid harus memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum dalam Islam, yaitu hukum fikih dan tauhid yang akan diperlukan oleh pengikut jalan spiritualnya. Tujuannya adalah menghapus keraguan yang mungkin dimiliki para pengikut yang baru bergabung, sehingga mereka tidak harus mencari jawaban dari orang lain.
Memahami berbagai aspek kebaikan hati, etika, gangguan mental, serta cara merawat kesehatan dan stabilitas mental
Menunjukkan belas kasihan dan kasih sayang kepada umat Islam, terutama kepada para murid. Sebagai contoh, jika mursyid melihat bahwa murid-muridnya menghadapi kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu dan juga sulit dalam meninggalkan kebiasaan buruk, dia harus menunjukkan sikap yang bijaksana serta sabar, dan berusaha agar membuat mereka selalu semangat dalam perjalanan spiritual mereka. Ia harus berinteraksi dengan mereka dengan kasih sayang untuk memberikan bimbingan.
Menyembunyikan kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada murid-muridnya.
Tidak merasa iri terhadap harta milik para murid, dan tidak menginginkan apapun yang dimiliki murid.
Menyampaikan ajaran-ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan menasehati untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, dengan kata-kata yang memberikan dampak positif pada para murid.
Tidak sering bertemu kecuali jika memang terdapat keperluan dengan murid-muridnya. Selalu mengingatkan murid tentang ajaran-ajaran tarekat dan syariat agar murid terhindar dari godaan hawa nafsu dan bisikan setan, serta menjalankan ibadah dengan benar.
Ucapan-ucapannya bersih dari pengaruh hawa nafsu, lelucon berlebihan, dan kata-kata yang tidak memiliki makna.
2. Bai'at
Bai'at atau talqin adalah komitmen yang diutarakan oleh seorang siswa kepada gurunya, yang menegaskan komitmennya untuk mematuhi semua instruksi guru tanpa penolakan atau syarat tertentu. Kesepakatan ini mencerminkan pengabdian sepenuhnya dari siswa kepada gurunya dalam semua aspek kehidupan rohani, dan tidak dapat dicabut sepihak oleh keinginan siswa. Bai'at memiliki dimensi spiritual yang dimana harus diberikan oleh seorang perwakilan dari garis keturunan yang mencapai Nabi SAW.
Dalam tarekat, bai'at diikuti sebagai contoh dari Nabi Muhammad SAW ketika pertama kali menerima kesetiaan dari individu yang ingin memeluk agama Islam. Dalam tahun keenam Hijrah, Nabi Muhammad SAW menganjurkan umat Islam untuk memberikan bai'at kepadanya, yang kemudian dikenal sebagai Bai'at ar-Ridhwan. Serupa dengan situasi tersebut, proses bai'at juga diulang ketika seseorang diangkat sebagai pemimpin dan ketika terpilih sebagai khalifah.
3. Nisbah
Dalam tarekat, silsilah dianggap sebagai "nisbah," yaitu keterkaitan yang berkelanjutan guru-guru terdahulu antara satu sama lain hingga mencapai kepada Nabi. Seseorang yang ingin menjadi murid sebelumnya perlu memahami dengan sepenuh hati hubungan guru mereka dengan sumber pengajaran tersebut secara berkesinambungan hingga mencapai Rasulullah saw. Sebab, tanpa kecuali, pertolongan spiritual dari guru harus benar-benar berawal dari guru mereka, dan guru mereka dari guru mereka lagi, dan seterusnya, hingga mencapai Rasulullah. Hal tersebut sangat penting karena dalam bimbingan yang dapat diambil dari para guru harus berasal dari Nabi untuk dianggap sah. Jika tidak, maka tarekat tersebut dianggap terputus dan bukan sebagai warisan yang berasal dari Nabi.
4. Murid
Murid atau sering disebut sebagai salik merupakan individu yang sedang dalam mencari arahan perjalanan spiritual mereka menuju Allah. Dalam pandangan para pengikut tarekat, jika ada seseorang murid yang memalakukan kerohanian akan tetapi dalam melakukan hal tersebut tidak ada bimbingan dari seorang guru yang benar dan berpengalaman serta tanpa melakukan tahapan tahapan yang dilewatin serta mampu mengatasi hal kejiwaan maka murid yang melakukan perjalalan spiritual tersebut memiliki resiko kesesatan yang sangat tinggi. spiritualnya, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi untuk tersesat. Murid tarekat adalah generasi muda yang vital untuk kelangsungan dan perkembangan suatu aliran tarekat. Tanpa kehadiran murid dalam pembelajaran dari guru, suatu aliran tarekat dapat punah. Murid perlu memastikan sang guru adalah seorang mursyid yang dapat membimbing menuju tujuan yang diinginkan, sebelum berbai`at kepada guru. Setelah menjadi murid, dia harus menaati aturan yang telah berlaku dalam hubungannya dengan guru, dalam tata krama terhadap dirinya sendiri dan keluarganya, dan juga dalam berinteraksi dengan orang lainnya.
Dalam konteks hubungan antara seorang murid dan seorang guru, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan:
Setelah resmi sebagai murid, seseorang sepenuhnya menyerahkan dirinya dengan tanpa adanya syarat kepada sang guru.
Tidak diizinkan untuk mencari pengajaran dari syekh lain atau meninggalkan saat hatinya belum sepenuhnya terbuka.
Penting bagi seorang murid untuk selalu mengingat sang guru, dan juga mengingat ketika melaksanakan amalan yang telah diijazahkan.
Murid sebaiknya selalu memilki prasangka yang baik terhadap sang guru, meskipun guru mungkin menunjukkan tindakan yang tidak selaras dengan pemikiran murid.
Murid tidak boleh memberikan ataupun menjual pemberian penghargaan atau hadiah dari guru kepada orang lain.
5. Ajaran
Ajaran merujuk kepada pelaksanaan-pelaksanaan dan pengetahuan yang telah diajarkan dalam sebuah tarekat. Umumnya, setiap aliran memiliki karakteristik ajaran khusus untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Para guru dalam aliran yang sama memberikan pengajaran metode yang serupa kepada para pengikutnya.
C. Sejarah Perkembangan Tarekat
Awalnya, tarekat merupakan bagian integral dari doktrin tasawuf. Para sufi awal mengajarkan prinsip-prinsip dasar tasawuf, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan Ma'rifat, yang kemudian berkembang menjadi aliran yang independen. Sesuai dengan hadis yang menyatakan bahwa syariat adalah perkataan, tarekat adalah tindakan, dan hakikat adalah batin, tarekat dianggap sebagai elemen penting dalam pengembangan tasawuf. Muhammad al-Aqqas, dalam klaimnya, menegaskan bahwa tasawuf memiliki akar yang kuat dalam Islam karena didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran, sehingga diakui sebagai ajaran yang sah.
Dalam penelitiannya, Martin Van Bruiness menyatakan bahwa sebelum abad ke-8 H/14 M, konsep tarekat sebagai suatu intuisi belum ada, mengindikasikan bahwa tarekat adalah suatu ajaran baru yang tidak ada dalam Islam murni. Namun, dengan pemeriksaan yang lebih mendalam, terlihat bahwa prinsip-prinsip utamanya memiliki akar yang kuat hingga ke zaman Rasulullah. Istilah "tarekat," yang secara harfiah berarti "jalan," merujuk pada sistem latihan meditasi dan praktik seperti muroqobah, zikir, wirid, dan lainnya, yang terkait dengan berbagai guru sufi dan organisasi yang berkembang sejalan dengan perkembangan metode sufi tersebut.
Dari kajian historis, terungkap bahwa tasawuf dimulai pada masa sahabat dan tabi'in, bukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Disebabkan ketegangan dalam masyarakat Muslim saat itu yang masih stabil, praktik keagamaan masih seimbang, dan pandangan hidup yang menjauh dari budaya pragmatis, materialistis, dan hedonis. Meskipun istilah "tasawuf" belum ada pada masa tersebut, mereka pada dasarnya sudah menjalani kehidupan sufi, tidak terlalu mengedepankan dunia, akan tetapi tidak juga meremehkannya, serta terus mengingat akan adanya Allah sebagai Pencipta langit, bumi, beserta isinya.
1. Periode Pertama (abad pertama dan kedua Hijriyah)
Gerakan tasawuf muncul sebagai respons terhadap perubahan mental masyarakat pada saat itu. Pada periode ini, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat mengalami transformasi signifikan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan masa para sahabat. Fokus utama masyarakat pada masa tersebut adalah terkait dengan masalah teologi dan hukum Islam (syariat), sedangkan aspek-aspek spiritual dan kerohanian mulai terlupakan. Budaya kehidupan mewah dan hedonistik mulai merajalela di tengah masyarakat.
Para tokoh sufi pada periode ini, termasuk juga para sahabat nabi lalu tabi'in bahkan tabi'ibbittabi'in. yang mana mereka telah berusaha untuk selalu mengingatkan Masyarakat arti kehidupan serta mereka berupaya melakukan menyamangati untuk beribadah dan juga menyarankan untuk hidup sederhana (zuhud).
Salah satu aspek kesederhanaan yang mereka tampilkan, terutama dalam hal berpakaian, adalah penggunaan pakaian yang terbuat dari bulu domba, sehingga mereka dikenal sebagai "sufi." Contoh tokoh pada periode ini adalah Hasan al Bashri yang menekankan konsep khauf (ketakutan kepada Allah) dan Rabi'ah al 'Adawiyah yang dikenal karena konsep cintanya.
Secara keseluruhan, pada periode ini, ajaran tasawuf memiliki karakteristik moral dan akhlak yang kuat, dengan fokus pada pembentukan karakter dan pembersihan jiwa serta raga dari pengaruh duniawi.
2. Pada Periode Kedua (yakni pada masa abad ke-3 dan ke-4 H)
Pada periode ini ajaran tasawuf mengalami perkembangan yang signifikan yang mana pada periode ini tasawuf tidak hanya berfokus kepada pembinaan moral seperti para zahid mengajar diperipode sebelum-sebelumnya. Hamka memandang selama abd ketiga dan keempat, ilmu tasawuf telah mencapai perkembangan serta komponen-komponen utama yang terbagi menjadi tiga. Adapun komponen-komponen gtersebut ialah ilmu akhlak, ilmu jiwa, dan yang terakhir ialah ilmu ghaib (metafisika).
Kecermatan batin yang lebih ditekankan pada periode pertama dan kedua telah meningkatkan eksplorasi dan pembahasan tiga cabang ilmu ini, yang kemudian menjadi bagian dari kehidupan para sufi. Adapun pendapat Abubakar Atjeh, beliau berpendapat bahwa pada abad kedua ajaran tasawuf lebih menekan kepada aspek kezuhudan. Lalu pada abad ketiga ajaran tasawuf telah memasuki pembicaraan mengenai washul/ pendekatan serta ittihad dengan tuhan.
3. Pada periode ketiga (yakni pada abad ke-5 Hijriah)
Terjadinya sebuah perkembangan dalam ajaran tasawuf baik itu sunni maupun falsafi. Dalam periode ini terjadi perubahan signifikan terhadap perkembangan tasawuf. Untuk sunni berkembang dengan sangat pesat berbeda dengan falsafi yang mengalami penurunan.
Pada abad kelima hijriah masi terkait dengan tarikat. Yang mana tarikat terhadap konteks kelompok zikir muncul sebagai bentuk melanjuti dari sufi terdahulunya. Yang mana hal ini ditandai dengan sebuah fakta bahwa disetiap silsilah tarekat selalu menyambung dengan nama-nama tokoh pada periode ketiga ini. Dengan adanya kemunculan tarikat yang seperti ini Masyarakat mulai merasakan kehampaan spiritual yang mana hal tersebut diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Praktik tarikat ini masih terlalu terbatas dari segi jumlah pengikutnya.
4. Periode keempat (yakni pada abad ke-6 H. serta seterusnya)
Terjadi kemunculan kembali ajaran tasawuf falsafi secara utuh. Ini terjadi setelah pada abad sebelumnya (abad ke-5), ajaran ini hampir menghilang. Ajaran tasauf falsafi dalam periode abad ke-6 mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dengan fokus pada praktik, pengajaran, dan ide-ide yang mendalam. Hal ini jelas tercermin dalam karya-karya Ibnu Arabi, seperti "al Futuhat al Makkiyah" dan "Fusus al Hikam."
Perkembangan tasawuf dalam periode ini memiliki dampak besar pada perkembangan tarekat itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa munculnya gerakan tarekat sebenarnya dimulai pada abad keenam Hijriah. Pada fase awal perkembangan tarekat, terutama selama abad pertama dan kedua Hijriah, tarekat merupakan sebuah jalur rohani yang diikuti oleh pencari kebenaran (salik) dalam perjalanan mereka menuju pemahaman yang lebih mendalam. Dengan kata lain, pada awalnya, tarekat memiliki makna asalnya. Selanjutnya, pada abad-abad berikutnya, yaitu abad ketiga dan keempat Hijriah, berbagai macam tarekat mulai muncul. Pada abad keenam Hijriah, terjadi perubahan yang signifikan dalam perkembangan tarekat dengan munculnya beberapa kelompok tarekat, dimulai dengan kedatangan Syaikh Abdul Qadir al Jailani dan pengenalan sistem tarekat Qadiriyahnya.
Setelah itu, berbagai aliran tarekat mulai muncul, baik yang berasal dari aliran tarekat Qadiriyah maupun yang berdiri sendiri. Dalam kategori aliran-aliran tarekat tersebut, dapat disebutkan tarekat al Kubrawiyah yang diperkenalkan oleh Najmuddin al Kubra, tarekat al Khalwatiyah yang didirikan oleh Zahiruddin al Khalwati, tarekat al-Rifaiyah yang diajarkan oleh Syekh Ahmad Rifa'I, tarekat Syattariah yang diasuh oleh Abdullah al-Syattar, tarekat Naqsyabandiyah yang dianut Bahauddin al-Naqsyabandi, dan juga tarekat Syaziliyah yang diawasi oleh Abu Hasan al Syazili.
Dalam proses pengajaran dan pengamalan tarekat masing-masing, ada interaksi antara syekh dan murid, dan menghasilkan transformasi ilmu. Ketika murid mencapai tingkat tertinggi, mereka diberikan ijazah untuk mendirikan dan mengajar tarekat tersebut. Secara alami mengakibatkan penyebaran yang lebih luas dari tarekat tersebut.
Namun, terkadang seorang murid mempelajari tarekat dari berbagai sumber dan menerima ijazah dari masing-masingnya untuk mengajar tarekat yang telah mereka pelajari. Terkadang mengarah pada tarekat baru yang mana pemebntukan tersebut oleh kelompok pyang menggabungkan 2 atau lebih tarekat yang berbeda. Salah satu contohnya ialah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang mana tarekat ini merupakan hasil gabungan antara Qadiriyah dan Naqsyabandiyah yang oleh Ahmad khatib sambas ulama' asal Indonesia yang mempelajari hal tersebut di makkan dan beliau sangat di hormati
Membedakan antara aliran terekat tersebut memiliki beberapa faktor. yakni yang pertama, ialah dengan penggunaan al-khirqah dan al-zay yang mana merupakan ciri ciri khas terekat tertentu ialah semacam jubah yang digunakan oleh syakh. Namun perlu diketahui bahwa khirqah tidak cukup untuk melakukan pembedaan terhadap semua tarekat. Karena beberapa tarekat memiliki khirqah yang serupa, seperti Sadiah, Qadriyah, dan Bahamiyah, yang semuanya memakai khirqah berwarna hijau. Namun, perbedaan utamanya terletak pada hizb dan wirid masing-masing tarekat, yang dibuat oleh para syekh di dalam masing-masing aliran tarekat tersebut.
Dalam sejarah Islam, catatan menunjukkan bahwa tarekat-tarekat mengalami perkembangan yang cepat dan tersebar di seluruh negara Islam. Peran signifikan dari tarekat-tarekat ini adalah dalam memelihara keberadaan dan kekuatan keyakinan umat Islam, bahkan berhasil memperluas tradisi dakwah hingga mencapai berbagai wilayah di dunia, mulai dari Maroko di barat hingga Indonesia di timur.
D. Macam-macam Tarekat Muktabaroh
Terdapat banyak macam macaam tarekat dan organasasi dindonesia baik itu besifat lokal maupun internasional yang mencakup shiddiqiyah. Dengan adanya organisasi khsus yang melakukan perhatianya kepada tarekat tarekat yang ke shahihan nya telah diselidiki. Adapun hasil dari perhatian yang diberikan oleh organisasi tersebut. Maka, munculah tarekat muktabaroh yang merupakan hasil dari hal tersebut. Adapun tarekat-tarekat yang berkembang sebagai tarekat internasional yang muktabaroh diantaranya adalah:
1. Tarekat Qadariyyah
Tarekat Qadariyyah, yang dirintis oleh Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani. Beliau seorang alim dan Zahid dan dihormati sebagai qutubul'aqtab. Awalnya, beliau dikenal sebagai seorang ahli fikih di mazhab Hambali, tetapi kemudian minatnya beralih ke dalam studi tarekat dan hakikat, yang mengungkapkan fenomena berbeda dari pengalaman sehari-hari. Kehidupan dan keajaiban-keajaiban Syeikh Abdul Qodir dapat ditemukan dalam kitab yang disebut Munakib Syeikh Abdul Qodir Jailani. Kitab ini biasanya dibaca oleh masyarakat dengan harapan untuk mendapatkan berkah.
Tarekat ini memiliki peran yang sangat penting, tidak hanya sebagai inisiator organisasi tarekat, melainkan juga sebagai awal dari munculnya berbagai aliran tarekat di dunia Islam. Syaikh ini telah memberikan perubahan yang sangat berarti terhadap pandangan dan juga sikap umat Islam. Ia dianggap sebagai contoh yang luar biasa dalam hal keunggulan dan pencerahan spiritual.
Di Indonesia, Tarekat Qadiriyah telah tumbuh subur dan bahkan bercabang menjadi berbagai aliran, termasuk salah satunya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Ajaran yang diajarkan oleh Syaikh Abd. Qadir Jailani dalam tarekat ini hampir memiliki kesamaan dengan ajaran Islam umumnya, terutama yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama'ah. Hal ini disebabkan oleh penghormatan besar yang diberikan oleh Syaikh Abd. Qadir Jailani terhadap para pendiri empat mazhab fiqih dan juga teologi Asy'ariyah. Beliau sangat menekankan konsep tauhid dan akhlak yang baik dalam ajarannya. Menurut al-Sya'rani, Tarekat ini didasarkan pada konsep tauhid, tetapi dalam praktiknya tetap mematuhi hukum syariah, baik dari segi fisik maupun batin.[1]
Tarekat Syaikh Abd. Qadir yang didefinisikan oleh Syaikh Ali ibn al-Hayti ialah proses penyucian akidah melalui penghormatan terhadap beribadah, dan menurut Ady ibn Musafir, karakteristik Tarekat Qadiriyah adalah pengabdian kepada takdir, serta penyatuan hati dan jiwa, persatuan fisik dan spiritual. Ini melibatkan penolakan terhadap dorongan hawa nafsu, serta pengabaian terhadap keinginan untuk melihat manfaat, kerugian, kedekatan, atau perasaan kejauhan. Selain itu didalam ajaran yang dibawa oleh syeikh abdul qodir diterapkan pada pensucian diri dari hawa nafsu. Dengan penerapan ini beliau menunjukkan beberapa petunjuk sebagai mensucikan diri atau juga untuk kesucian jiwa. Adapun penerapan ajaran yang beliau bawak ialah zuhud, taubat, tawakkal, ridho, bersyukur serta jujur sedangkan dalam praktik ritualnya ialah dengan mengamalkan dzikiran.
2. Tarekat Syazilliyyah
Tarekat Syaziliyyah tidak dapat dipisahkan dari pendirinya, yaitu Abu al-Hasan al-Syatdzili dan tarekat ini dikaitkan dengan nama Syaziliyah, yang memiliki karakteristik yang berbeda dari tarekat-tarekat lainnya. Pendiri tarekat ini adalah Al bin Abdullah bin Abd. Al-Jabbar Abu al-Syadziliyah. Silsilah keturunannya memiliki hubungan dengan garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, yang artinya juga memiliki hubungan dengan keturunan Siti Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW.
Tarekat ini merambat luas di berbagai wilayah, termaasuk Indonesia di bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tarekat Syadziliyah tidak menerapkan persyaratan yang berat pada Syekh tarekat, kecuali bahwa mereka harus menjauhkan dan menghilangkan perbuatan-perbuatan maksiat, menjalankan semua ibadah yang diwajibkan, melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sebanyak yang mereka mampu, berdzikir kepada Allah setidaknya 1000 kali sehari semalam, bertaubat 100 kali, dan mengirimkan shalawat kepada Nabi setidaknya 100 kali sehari semalam, dan juga beberapa dzikir lainnya. Kitab Syadziliyah menguraikan dua puluh wirid, lima sebelum mengucapkan dzikir, dua belas selama mengucapkan dzikir, dan tiga setelah mengucapkan dzikir.
3. Tarekat Naqshbandi
Tarekat Naqshbandi didirikan oleh Muhammad Baha al-Din al-Uwaisi al-Bukhari al-Naqshband yang merupakan tokoh tasawuf yang terkenal, beliau lahir di desa Qashrul Arifah. Muhammad Baha al-Din berasal dari keluarga yang terhormat dan lingkungan yang sama. Gelar Syaikh diberikan kepadanya, menunjukkan peran pentingnya sebagai pemimpin spiritual. Ketika berusia 18 tahun, dia diajak oleh gurunya untuk bertemu dengan Baba al-Samasi. Setelah itu, dia memperdalam ilmu tarekat dari seorang guru spiritual di Nasaf bernama Amir Sayyid Kulal al-Bukhari, yang merupakan khalifah dari Muhammad Baba al-Samasi. Di sinilah dia pertama kali mendalami tarekat yang kemudian dia dirikan.
Di Indonesia, Tarekat Naqsyabandiyah adalah tarekat yang berkembang pesat. Tarekat ini memiliki jumlah pengikut terbanyak dan cakupan penyebaran yang sangat luas. Dengan ini tarekat tersebut merupakan satu satunya yang mana di setiap provinsi ada pengikutnya dan yang mengikuti tersebut oialah mayoritas muslim.
Tarekat Naqsyabandiyah ini berbeda dari tarekat yang lain. Yang maan ditarekat ini tidak terbatas disetiap lapisan lapisan sosial. Pengikutnya berasal dari berbagai latar belakang, termasuk perkotaan dan pedesaan, kota kecil dan kota besar, serta berbagai profesi. Tarekat Naqsyabandiyah memiliki beberapa cabang atau aliran, salah satu cabang yang populer dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah, tarekat ini didirikan oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya, MSc, yang dikenal sebagai syeikh Kadirun dan juga sebagai Mursyid.
Ciri khas Tarekat Naqsyabandiyah adalah, pertama, ketaatan yang sangat ketat terhadap ajaran agama, penghormatan dalam praktik ibadah yang mengakibatkan penolakan terhadap unsur-unsur musik dan tarian, serta prioritas yang lebih besar terhadap zikir secara batin. Kedua, komitmen mendalam dalam memengaruhi pandangan para penguasa dan juga upaya untuk mendekatkan negara pada nilai-nilai agama. Tarekat Naqsyabandiyah berbeda dari tarekat lainnya karena tidak mengadopsi isolasi terhadap pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Sebaliknya, mereka aktif terlibat dalam interaksi dengan kekuatan-kekuatan politik untuk mencoba mengalihkan pandangannya. Tarekat Naqsyabandiyah menekankan pentingnya tanggung jawab penguasa dan percaya bahwa usaha untuk memberikan perbaikan pemerintahan merupakan salah satu syarat untuk memperbaiki Masyarakat.
4. Tarekat Khawatiyah
Pada abad ke 17 arekat Khawatiyah ini banyak di anut oleh suku bugis serta makasar. Yang mana didaerah tersebut Sejarah tarekat ini memiliki akar Sejarah yang kuat, tokoh yang dihormati ditarekat ini ialah Syaikh Yusuf al-Makasari al-Khalwati. Dimasa sekarang tarekat ini memiliki cabang yang terpisah yakni tarekat khalwatiyah yusuf dan tarekat khalwatiyah samman. Yang mana dari kedua tarekat khalwatiyah ini telah mencapai 5% dari penduduk propinsi yang berusia lebih dari 15 tahunan.
Ada banyak perbedaan yakni dalam hal praktik keagamaan, struktur organisasi, dan komposisi pengikutnya. Dalam Tarekat Khalwatiyah Yusuf melakukan wirid dan zikir secara diam-diam dalam hati dengan menyebutkan nama-nama Tuhan dan beberapa kalimat pendek lainnya. Di sisi lain, Tarekat Khalwatiyah Samman melaksanakan zikir dan wiridnya dengan suara yang dikeraskan.
Tarekat yang pertama yakni khalwatiah samman. tarekat ini sangat terpusat yang mana semua guru tarekat sangatlah tunduk kepada kepemimpinan pusat yang terletak di Maros. Selain hal tersebut tarekat tarekat khalwtiyah yusuf tidak memeiliki pusat untuk kempemimpinan sama sekali. Untuk pengikut dari tarekat Khalwatiyah Yusuf lebih banyak berasal dari pihak Kerajaan maupun bangsawan berbeda dengan tarekat khalwatiah samman yang lebih ke rakyat kecil baik dari segi gaya hidup maupun komposisi sosial yang mana sebgaian besar pengikut ini ialah berasal dari kalangan Masyarakat kelas bawah atau desa.
5. Tarekat Syattariyyah
Sejarah adanya nama Syattariyyah ini ditujukan pemberian yang diberikan kepada Syaikh Abdullah al-Syaththari yang mana beliau ialah ulama yang masih meiliki hubungan kekerabatan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh serta Umar Suhrawandi. Tarekat Suhrawandiyah dipopulerkan oleh seseorang ulama yang mana pamannya sendiri yang mendirikan tarekat ini. yaitu Diya al-Din Abu Najib al-Suhrawandi. Awal Tarekat Syattariyah berkembang dibagian wilayah Melayu-Indonesia yang mana perkembanganya ini tidak bisa dipisahkan dari kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari Haramain pada awal paruh kedua abad ke-17, yakni tepatnya tahun 1661 M. Yang mana satu tahun setelahnya wafatnya guru utamanya, al-Qusyasyi.
Selain itu, ulama yang dianggap mengembangakan Tarekat Syattariyyah di Sumatera Barat ialah Syaikh Burhanuddin. Adapun ajaran Tarekat Syattariyah dipopulerkan dijawa barat oleh Syaikh Abdul Muhyi, yang mana beliau juga merupakan salah satu murid dari Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Sampai saat ini, para murid Tarekat Syattariyyah masih dapat ditemukan, termasuk di Ciamis, Tasikmalaya, Cirebon, dan daerah sekitarnya di Jawa Barat.
Sampai sekarang, Tarekat Syattariyyah masih aktif di daerah-daerah di Indonesia dan tetap berkomitmen untuk merangkul ajaran tasawuf dan syari'at dalam kerangka yang dikenal sebagai neosufisme. Meskipun perkembangannya tidak secerah pada masa awalnya, Tarekat Syattariyyah masih mampu bertahan menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi yang signifikan.
6. Tarekat Samamiyyah
Tarekat Samamiyyah didirikan oleh Muhammad bin Abd al-Karim al-Madani al-Syafi'i al-Samman, beliau dari keluarga Quraisy yang lahir di Madinah. Di antara pengikutnya, beliau dikenal dengan sebutan al-Sammani. Selain kecakapannya dalam tarekat, Syaikh Samman juga memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai aspek Islam. Pengetahuan hukum Islamnya diperoleh dari lima ulama fikih terkenal, yaitu Muhammad al-Daqqad, Sayyid Ali al-Aththar, Ali al-Kurdi, Abd al-Wahhab Al-Thanhawi dan Said Hilal al-Makki. Beliau menjadi murid dari Muhammad Hayyat, seorang muhad yang memiliki reputasi yang baik di Haramayn dan menjadi pengikut Tarekat Naqsabandiyyah.
Tarekat ini dinamai sesuai dengan nama beliau, Muhammad Samman. Ajarannya banyak dicari oleh orang-orang Indonesia, sebagai hasilnya tarekat ini banyak berkembang di Aceh dan dikenal sebagai tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah adalah yang pertama memiliki banyak pengikut di wilayah Nusantara. Dalam pendekatannya tarekat ini memiliki pendekatan mereka terhadap konsep wahdat al-wujud dan syahadat yang sesuai dengan prinsip syari'at.
Dapat dijelaskan dengan menginterpretasikan bahwa Syaikh Samman adalah seorang sufi yang berhasil menyatukan prinsip-prinsip ajaran syariah dan tarekat. Di Sulawesi Selatan, tarekat ini masih memiliki banyak pengikut hingga saat ini, dan tradisi tarekat ini juga tetap hidup di Kalimantan Selatan.
7. Tarekat Tijaniyah
Bentuk kepercayaan agama yang juga ditemui di Indonesia selain aliran-aliran agama lainnya adalah Tarekat Tijaniyah, pada tahun 1928, gerakan ini mulai muncul di Cirebon. Seorang individu berkebangsaan Arab yaitu Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, yang berasal dari Madinah dan menetap di Tasikmalaya, menulis buku berjudul "Kitab Munayatul Murid" yang berisi panduan mengenai aliran ini. Buku ini kemudian terkenal dan tersebar di wilayah Cirebon dan wilayah Jawa Barat secara umum. Pada awal ke-20 M, tarekat ini tiba di Indonesia dengan diketahui kedatangan Syaikh 'Ali ibn Abdullah at-Tayyib ke Pulau Jawa.
Tarekat Tijaniyah, yang didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani, berasal dari 'Ain Madi, al-Jazair Selatan. Pengikut Tijaniyah meyakini bahwa Syaikh Ahmad Tijani adalah seorang wali agung dengan derajat tertinggi dan penuh keramat. Keyakinan ini didasarkan pada faktor genealogis, warisan keluarga, dan perkembangan spiritualnya. Menurut pandangan mereka, Syaikh Ahmad Tijani memiliki silsilah keturunan yang dapat dilacak hingga Nabi Muhammad. Ini terjadi melalui garis keturunan yang melibatkan Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-Idl bin Abi Thalib, yang merupakan keturunan langsung dari Siti Fatimah al-Zahrah, putri Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Tijaniyah memiliki wirid yang sangat simpel, terdiri dari melakukan istighfar sebanyak 100 kali, shalawat sebanyak 100 kali, dan tahlil sebanyak 100 kali. Wirid ini bisa dilafadzkan pada pagi hari dan sore hari. Pada waktu pagi, wirid ini dilakukan setelah shalat subuh hingga selesai shalat duha. Sedangkan pada sore, wirid ini dilakukan setelah shalat ashar hingga sebelum shalat isya. Setelah itu, rangkaian wirid ini ditutup dengan berdoa "Jauharand kamal" sebanyak dua belas kali, yang terdapat dalam kitab Fathur Rabbani.
Meskipun zikir ini bisa diucapkan di petang hari, disarankan untuk melakukannya di malam hari setidaknya dua kali sehari. Terutama pada hari Jumat, kegiatan ini melibatkan zikir, tahlil, dan pengulangan nama Allah tanpa batasan tertentu, dimulai setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.
8. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah
Pada sekitar tahun 1850-an, Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah muncul berkat kontribusi dari Ahmad Khatib Sambasi, beliau merupakan sufi terkenal di Kalimantan, dan juga pernah tinggal di Makkah. Beliau berhasil menggabungkan serta mengembangkan pendekatan spiritual dari dua tarekat sufi terkemuka, yaitu Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, sehingga membentuk sebuah tarekat yang saling melengkapi satu sama lain dalam tujuan spiritual. Dalam konteks yang lebih umum, tarekat ini memiliki kesamaan dengan tarekat sufi lainnya dalam memberikan pandangan yang dalam kepada pengikutnya dalam mempraktikkan ajaran Islam dan memahami seluruh aspek-aspeknya.
Selain itu, dengan menggunakan pendekatan psikologis-moral, Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah berupaya menuntun individu untuk mencapai pemahaman dan pengalaman yang sempurna dalam beribadah kepada Tuhan, sekaligus membangun kesadaran bersama dalam membentuk komunitas spiritual dan moral yang kuat. Sebagai sebuah organisasi keagamaan, tarekat ini secara tidak langsung telah mengembangkan fondasi sosial yang kukuh di tengah masyarakat Indonesia, terutama di wilayah Jawa. Ini terjadi karena tarekat ini selalu mempromosikan tiga elemen yang diajarkan kepada anggotanya. Tiga elemen tersebut mencakup: pertama, pengajaran tentang teladan utama yang diwakili oleh guru spiritual, syaikh atau khalifah. Kedua, pendidikan tentang aspek spiritual yang berjenjang bagi semua anggota dalam mencapai kemajuan spiritual secara kompetitif dan terbuka. Ketiga, pengajaran tentang lingkungan, yaitu suatu lingkungan di mana nilai-nilai keagamaan dapat tumbuh dan dipertahankan dengan baik.
Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa pada tahun 1970-an, terdapat empat pusat terpenting dari Tarekat Qadiriyyah Naqshbandiyyah (TQN) di Pulau Jawa. Pusat-pusat tersebut meliputi Rejoso, Jombang yang dipimpin oleh Kiai Tamim; Maranggen yang diurus oleh Kiai Muslih; Suryalaya, Tasikmalaya yang dikendalikan oleh K.H. Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom); dan Pegentongan, Bogor yang dikelola oleh Kiai Thohir Falak. Silsilah Rejoso diwariskan melalui Ahmad Hasbullah, sedangkan Suryalaya berasal dari garis keturunan Kiai Tholhah. Sementara itu, Cirebon dan tarekat-tarekat lainnya dapat dilacak hingga ke Syaikh Abd al-Karim Banten dan para penerus mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H