Lihat ke Halaman Asli

Berlatih Merasa Cukup

Diperbarui: 3 Agustus 2024   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Freepik

Ranting-ranting patah bersama guguran dedaunan. Kalau bisa bertanya, mungkin ia akan protes mengapa nasib baiknya di dahan pohon harus terhenti, membuangnya jatuh bersama serakan rumput ilalang.

Rintik hujan rapat serempak, seolah terlatih berlomba lari dalam kompaknya ketukan kecepatan, yang sepenuhnya menjadi kendali angin. Kalau bisa bertanya, mungkin ia heran mengapa ia harus terhujam jatuh ribuan kilometer, dari atas awan yang bersih dan tinggi, menuju tanah yang lembab dan kusam, berselimut lumpur dan bekas pijakan.

Ia tak tahu, serakan ranting kemudian berteman baik dengan lumpur dan genangan air, lalu menjalani hari demi hari dengan interaksi yang sama. Hingga akhirnya, air mengubur ranting kedalam tanah, terurai dalam waktunya sendiri, lalu indah berubah menjadi pupuk bernutrisi bagi sang pohon, rumahnya.

Hidup selalu mengundang banyak pertanyaan, yang sebagian besarnya tidak terjawab oleh keterbatasan resonansi nalar seseorang. Episode demi episode seolah tampak misterius dan penuh teka-teki. Sayangnya, acap kali periuk nasi seseorang akan membuatnya sangat sibuk dan lalai, mengirimkan impresi palsu berisi segala kekurangan yang harus selalu dikejar setiap harinya.

Hidup tidak harus selalu punya tujuan hebat seperti narasi di berbagai platform motivasi sosial media. Sesekali, kita lupa bahwa kehidupan manusia sudah diatur dengan takaran yang pasti, sedangkan yang tidak ada jaminannya adalah kematian. Tipuan ego akan selalu setia menggoda diri kita sendiri, dan ia membawa efek candu yang luar biasa. Pada satu titik, hal ini seperti minum soda di tengah gurun pasir yang sangat tandus. Kita terus menerus minum, tapi justru semakin merasa kehausan.

Rasa cukup adalah sebuah skill yang harus dilatih, dan proses belajarnya memerlukan konsistensi latihan seumur hidup. Pembelajaran dimulai dari menengok dan menyapa ekspektasi kita pada dunia. Sosial media setiap harinya menyuapi kita dengan kesempurnaan-kesempurnaan palsu, yang seringkali tidak benar-benar menampilkan originalitas yang utuh. Namun sayangnya, seringkali kita membiarkan konsumsi sampah sosial media terlalu sering menjadikan jiwa kita lelah terpapar. Sebagaimana makanan bergizi akan mempengaruhi kesehatan fisik, konten digital akan menjadi makanan bagi otak. Kemudian, kombinasi keduanya akan menjadi pembangkit energi utama jiwa kita. Dengan cepat, kebiasaan ini akan membuat kita menuntut kesempurnaan dalam hidup.

Perjalanan hidup secara bergantian diisi oleh siklus kegagalan, proses bertumbuh, dan keberhasilan yang akan terus berputar poros. Yang sering membuat kita lalai, adalah fakta bahwa jauh lebih banyak faktor yang berada diluar kendali diri kita sendiri. Hal ini yang seringkali menghambat tumbuhnya rasa cukup. Karena seseorang cenderung berorientasi pada keberhasilan hasil usahanya, daripada seberapa besar upaya yang telah dicurahkan. Padahal, sejatinya ada dinding takdir yang sangat tebal, memisahkan antara usaha dengan hasil yang dicapai.

Terakhir, maafkan kekurangan diri sendiri dan kesalahan yang pernah ia lakukan. Akui saja ketidaksempurnaannya, dan berterima kasihlah atas kesediaannya berproses dan bertumbuh setiap harinya. Segala kesulitan yang kita lalui sesungguhnya telah mengizinkan diri kita tumbuh menguat, dan memaafkan berarti memberinya ruang untuk belajar. Karena, berdamai dengan kelemahan, ketidak idealan dan ketidaksempurnaan adalah teman baik bagi rasa cukup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline