Lihat ke Halaman Asli

Candu Validasi Sosial

Diperbarui: 2 Agustus 2024   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Freepik

“Pericla timidus etiam quae non sunt videt. Orang yang takut bahkan melihat bahaya yang (sesungguhnya) tidak pernah ada".

Sebuah cerita datang dari meja konseling praktisi mindfulness bernama Adji Santosoputro yang mengungkap beragam wujud manifestasi rasa takut. Ia menjelaskan bahwa diri manusia terbagi atas dua hal, yaitu surface self dan inner selfSurface self bak riak-riak air yang meliputi hal-hal yang nampak pada manusia termasuk fisik dan reaksi emosi, sedangkan inner self diibaratkan lautan dalam yang menyimpan beragam hal yang diam bersemayam dalam jiwa manusia. Rasa takut seringkali tertimbun jauh didalam inner self seseorang. Uniknya, rasa takut tersebut seringkali menggunakan topeng palsu yang menyamar dan muncul ke permukaan diri seseorang dan berubah wujud menjadi overthinking, anxiety, dan kegelisahan berkelanjutan serta perasaan terancam tanpa sebab yang jelas.

Dalam dunia Industry 4.0, tipuan sosial media sesungguhnya seringkali menjadi "junk food" bagi pikiran manusia. Tanpa filter kesadaran diri alias mindfulness, seringkali kita tidak menyadari bahwa setiap menitnya kita terus membiarkan konten-konten “brain washing” tersebut membombardir "awareness storage" yang kita miliki. Saat tangki kesadaraan itu sesak dan jejal dengan pengaruh negatif sosial media, ia akan terus menggerogoti kejernihan berpikir. Salah satu tren negatif yang kemudian menjangkit banyak orang adalah meletakkan kontrol kebahagiaan kita pada pengakuan orang lain.

Mindfulness megajarkan kita mengenal dikotomi kendali, yaitu kesadaran untuk membagi segala peristiwa yang terjadi dalam hidup kedalam dua box yang terdiri dari hal-hal yang ada di dalam kendali kita (faktor internal) serta diluar kendali (faktor eksternal). Seringkali, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menyedot banyak fokus, energi, dan ketenangan diri kita demi merasa diakui oleh orang lain, terlihat hebat, dan tampak setara. Sebuah pelarian mengejar bayang-bayang semu.

Haus akan validasi sosial harus disadari sebagai virus yang dapat menjangkit siapa saja. Dari titik tersebut kemudian muncul flexing dan kepalsuan. Keinginan untuk mendapatkan “social approval”  memaksa seseorang untuk bersikap jauh melebihi batas kemampuannya demi terlihat hebat dalam segala hal, utamanya dalam membangun image di sosial media. Sebuah dunia tipu-tipu yang justru didalamnya adalah kesedihan dan ketidakpuasan terhadap hidup.  

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk meraih sesuatu dan mengekspresikan diri. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan self esteem seseorang untuk dipenuhi. Namun bedanya, self esteem akan menuntun diri kita untuk meraih sebuah keberhasilan yang berbuah kebahagiaan, yang datangnya benar-benar dari dalam diri seseorang.  Berkebalikan dengan itu, haus akan validasi sosial akan membuat kita semakin kehabisan energi karena tuntutan untuk menghalalkan segala cara agar terlihat berhasil. Bak berlarian diatas treadmill, kita kelelahan tergopoh-gopoh dan kehabisan energi seolah telah jauh melangkah, namun sejatinya yang terjadi adalah kita tidak pernah bergerak kemana pun dan tetap berada ditempat yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline