Misi China membangun kejayaan dari masa lampau mulai menggeliat. Proyek ambisius China yang berupa menyambungkan urat nadi perdagangan dunia telah dimulai. Membangkitkan jalur kuno rute perdagangan dengan Barat era Dinasti Han (140 SM) "jalur sutra" yang membuat nama China termasyur ke seluruh penjuru dunia.
Jelas itu proyek yang sangat ambisius dengan biaya yang tidak murah. Pemerintah China digadang siap menggelontorkan dana 8 triliun dollar untuk pembangunan infrastruktur di 68 negara.
Mimpi membangkitkan kembali jalur sutra di abad 21 itu berada dalam rencana proyek One Belt, One Road (OBOR). Sebuah proyek membangun megainfrastruktur dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi. memperkuat kerjasama keuangan, memperkuat koneksi jalan atau infrastruktur, dengan membentuk jalur transportasi yang kuat dengan negara lain. Mulai dari Cina ke Eropa Barat dan dari Asia Tengah ke Asia Selatan. Demi merealisasikan mimpi tersebut, China secara gencar membangun kerjasama pembangunan infrastruktur di berbagai negara, baik berupa jalur kereta api antar negara, tol darat, tol laut, pelabuhan bahkan juga jaringan pipa minyak antar negara.
Tapi ambisi China tersebut banyak mencekik negara-negara berkembang yang ikut dalam kerjasama mewujudkan jalur sutra terebut. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada Agustus lalu mengatakan negaranya akan menghentikan proyek-proyek yang didukung dana dari China, termasuk jalur kereta senilai US$20 miliar.
Malaysia tidak sendiri Perdana Menteri Paksitan yang baru Imran Khan bertekad untuk lebih transparan akibat muncul kekhawatiran akan kemampuan negara itu membayar kembali utang untuk proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan, pinjaman dana segar itu seolah menjadi buah simalakama bagi negaranya yang sewaktu-waktu dapat menjerat kesehatan ekonomi, sebab adanya beban hutang yang begitu besar.
Pernyataan tegas dalam mengkritik proyek OBOR juga diucapkan oleh pemimpin Maladewa yang diasingkan Mohamed Nasheed, Nasheed mengatakan kegiatan China di kepualauan Lautan Hindia serupa dengan "perebutan tanah" dan "penjajahan", karena 80 persen utang negara-negara itu berasal dari China. Proyek OBOR pun secara ekonomi telah memakan korban negara Sri Lanka.
Sri Lanka telah merasakan dampak negatif utang besar ke China yang digunakan sebagai dana untuk melangsungkan pembangunan infrastruktur secara massif, akibatnya negara ini harus memberi izin penggunaan pelabuhan strategis ke Beijing selama 99 tahun karena tidak bisa membayar pinjaman bagi proyek bernilai US$1,4 miliar itu.
Bagi negara berkembang tawaran dana segar untuk membiayai pembangunan adalah tawaran yang sangat menarik sekaligus sangat berisiko, sebab masa depan perekonomian sebuah negara menjadi taruhannya. Kemampuan ekonomi sebuah negara bisa saja menghadapi kebangkrutan ketika proyek tersebut gagal menghasilkan dampak ekonomi yang postif untuk pemasukan negara, sementara utang telah terlanjut dibuat dan disepakati. Sebagai ganti hutang banyak sumberdaya, infrastruktur strategis dan aset sebuah negara yang jadi bahan tukar guling dengan China, dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang.
Indonesia juga ambil bagian dalam perjudian dengan China dalam membangun infrastruktur yang tergabung dalam proyek OBOR secara garis besar. Salah satu proyek ambisius itu adalah pembangunan infrastruktur tol darat dan jalur cepat kereta api. Dua proyek yang kalkulasi ekonominya belum secara jelas menjaminkan keuntungan bagi masyarakat Indonesia.
Tol-tol yang gencar dibangun oleh pemerintah saat ini memang secara akomodatif mampu memangkas waktu tempuh dan menyambung beberapa daerah, tapi distribusi logistik dan kegiatan ekonomi belum terlihat bergerak secara nyata di situ. Biaya yang cukup tinggi masih menjadi pertimbangan warga dan para pelaku ekonomi untuk melalui jalan tol yang dinilai pemerintah adalah proyek strategis untuk menumbuhkan perekonomian. Namun melewati tol tersebut akan berpengaruh secara signifikan terhadap ongkos produksi.
Kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung pun banyak mendapat kritik soal perencanaannya. Banyak masalah yang muncul dari pembangunan tersebut, contohnya perkara pembebasan lahan. Banyak warga yang belum menerima pencairan dana dari lahan yang diambil untuk pembangunan kereta cepat tersebut.