Sebagai negara dengan keberagaman etnis suku budaya dan bahasa, demokrasi jelas sebagai sesuatu sistem pemerintahanyang sangat kompatibel dengan keberagaman yang sudah Indonesia miliki. Demokrasi mampu memberikan payung hukum bagi keberagaman baik secara budaya maupun pemikiran. Indonesia jelas adalah contoh negara demokratis yang dapat menjadi rule of model bagaimana jalannya pemerintahan yang baik dapat berjalan, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berebeda-beda tapi tetap satu.
Pasca Pilpres 2019, dimana setiap rakyat Indonesia merakayan proses demokrasi dengan cara memilih perwakilan mereka untuk duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan secara langsung memilih pemimpin Presiden dan Wakil Presiden yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Pada masa-masa rakyat merayakan pesta demokrasi, indeks demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan yang cukup drastis. Peringkat demokrasi Indonesia terjun bebas 20 peringkat. Sebelumnya di posisi 48 pada tahun 2016, turun menjadi 68. Menurut Freedom House, peringkat demokrasi Indonesia saat ini bahkan lebih buruk dari Timor Leste.
Penurunan peringkat demokrasi Indonesia saat ini dinilai terjadi karena pemerintah yang terlalu represif terhadap kebebasan berpendapat dan berekspersi yang disampaikan masyarakat. Berdasarkan data BPS akhir tahun 2018 lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia mengalami penurunan.
Tentu saat ini kita tidak asing dengan berita penangkapan yang menjerat banyak sekali pihak oposisi pemerintah yang secara lantang melemparkan kritik terhadap pemerintahan. Seiring rangkaian proses Pemilihan Umum 2019, berbagai penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, dilakukan aparat penegak hukum makin banyak terjadi, banyak tokoh terutama dari kubu oposisi yang dikenal lantang bersuara mengkritisi pemerintahan saat ini. Antara terhadap Ahmad Dhani, Ustadz Bachtiar Nasir, Eggi Sudjana, dan lain sebagainya. Hal tersebut menurut Freedom House dapat mengancam kebebasan sipil dan mengancam demokrasi secara serius.
Pemerintah saat ini dinilai banyak mematikan sendi-sendi demokrasi dengan menjerat para pengkritik pemerintahan dengan delik-delik yang multitafsir dan pasar karet. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap demokrasi dan penyampaian aspirasi sipil.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan!.
Mungkin ini saatnya rakyat mulai melawan pembungkaman yang dilakukan oleh pemerintahan, suara kita tidak akan pernah mati.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H