Strategi Presiden Joko Widodo untuk mengebut pembangunaan infrastruktur layak untuk dicermati kembali. Mengusung slogan membangun dari pinggiran, pemerintahan Jokowi-JK gencar membangun proyek infrastruktur hingga pelosok daerah. Mimpi besarnya adalah menyediakan jaringan konektivitas di semua wilayah dan memupus kesenjangan ekonomi di sekujur negeri.
Namun, bukan berarti cita-cita mulia petahana ini tanpa kekurangan. Dalam video bertajuk Iklan Kampanye Prabowo Sandi yang diunggah oleh kanal Kabar KiniKini di Youtube pada 28 Maret 2019, tampak sekelompok masyarakat yang mengeluhkan akibat pembangunan infrastruktur.
Awalnya, sekelompok ibu-ibu yang mengeluh harus berjalan jauh lantaran pembangunan jalan tol. Kemudian, sepasang suami istri yang berpendapat biaya pembangunan menjadi salah satu penyebab besarnya tarif jalan tol. Video dilanjutkan dengan keluhan pemilik warung yang sejak ada jalan tol, dagangannya semakin susah terjual dan sepi pembeli.
Penulis pun melihat hal ini sangatlah nyata. Berkendara melewati pantura saat ini dibandingkan sepuluh tahun lalu sangatlah berbeda. Roda perekonomian di jalur Subang-Indramayu, yang dulu banyak toko oleh-oleh dan restoran, kini terlihat seperti kota mati. Banyak warung dan restoran yang tutup karena sepi pengunjung, karena sekarang banyak pengendara lebih memilih lewat jalan tol.
Ekonom senior Rizal Ramli, dalam sebuah acara bedah program Capres dan Cawapres juga menyoroti pembangunan infrastruktur dalam 4 tahun masa kepemimpinan Jokowi. Mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya ini memuji komitmen presiden untuk membangun infrastruktur, namun seperti terlalu dipaksakan. Seperti dalam satu proyek, dikunjungi sampai dengan delapan kali. Rizal pun mengibaratkan Presiden seperti Mandor PU (Pekerjaan Umum) karena hal ini.
Seperti video yang dijelaskan di atas, menurut Rizal, pembangunan ini justru menimbulkan trauma. Over-supply, over-price, dan over-borrow; proyek dianggap terlalu banyak, terlalu mahal, dan terlalu banyak utang. Tentunya masih ingat beberapa bulan lalu ada direksi BUMN yang ditangkap KPK karena korupsi terkait 14 proyek fiktif yang masuk dalam Proyek Nasional. Menurut Rizal, praktek seperti ini lumrah di BUMN, biaya di-markup jadi kemahalan 30-50%. BUMN enggak punya uang jadi harus pinjam dan disubsidi APBN. Alhasil, utang BUMN pun menggunung.
Rizal pun menyebut sejumlah proyek merugi seperti jalan tol Pantura rugi Rp300 miliar pertahun dan monorel Palembang rugi Rp 1 miliar per bulan. Terus yang lewat jalan tol kebanyakan mobil pribadi, apakah wajar jika mereka disubsidi Rp1 miliar setiap hari selama 10 tahun???
Seharusnya sasaran utama pembangunan jalan tol adalah untuk mereduksi biaya produksi dan distribusi untuk mengontrol kenaikan harga kebutuhan pokok. Namun truk malah lewat jalan biasa karena ongkos jalan tol terlalu mahal. Seorang pakar transportasi dan tata kota dulu pernah mengatakan bahwa pada dasarnya, Jalan Tol dibangun untuk memperlancar distribusi barang, sehingga seharusnya di jalan tol yang efektif tarif untuk angkutan barang dan umum seharusnya lebih murah dibandingkan mobil pribadi.
Namun, Berdasarkan laman resmi BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol), ongkos tol kendaraan Golongan I (mobil pribadi) lebih murah dibandingkan golongan II, III, IV dan V (truk 2-5 gandar) hampir di semua ruas. Dari penentuan tarif ini sudah terlihat jika fokus subsidi pemerintah telah bergeser. Dibandingkan memperbesar subsidi untuk angkutan barang demi mengurangi biaya produksi dan distribusi, pemerintah lebih memilih mengurangi tarif mobil pribadi sehingga menciptakan kesan positif lebih banyak untuk pencitraan (secara pengguna mobil pribadi lebih banyak).
Maka kasihan betul para sopir truk, ruas jalan yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka terebut demi kepentingan pribadi banyak orang, yang muaranya adalah memastikan keberlanjutan penguasa. Maka logis jika mereka memilih untuk lewan jalan raya dibandingkan jalan tol.