Lihat ke Halaman Asli

Fransiskus MKowa

Pemerhati Masalah Sosial Politik

Di Balik Nama yang Berubah, Menjadi Diri Sendiri

Diperbarui: 15 Februari 2020   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

intisari.grid.id

Nama saya Elan. Saya juga biasa disapa elang. Saya bingung kenapa nama saya diubah menjadi elang. Bukan hanya elang, ada banyak panggilan baru untuk saya “elong dan lain-lain”. Saya merasa dibabtis seperti saya masih kecil. Saya berpikir kalau nama yang diubah berarti nama yang bagus. Ah...itu adalah prasangka saya. Saya tak tahu “apa alasan dibalik nama yang berubah”.

Nama saya sudah menjadi bunglon. Ya..Nama yang bunglon. Kapan saja sesuai waktu akan berubah. Di saat baik, namanya normal. Tapi di saat tertentu, namanya berubah “bisa baik, bisa buruk”.

Di balik nama yang berubah, adakah sesuatu yang tersembunyi??

Setahu saya, nama yang berubah itu cocok untuk intelijen. Kemana-mana identitas mereka selalu berubah. Mulai dari nama sampai penampilan. Apakah penampilan saya juga harus berubah seiring dengan perubahan nama?? Tidak!!

Jika sepertii ini, identitas saya semakin dekat dengan bunglon. Intelijen juga mungkin belajar dari bunglon. Kemana mereka pergi sesuai dengan situasi pasti semuanya berubah.

Saya tetap pada pendirian “nama saya tetap E, bukan E yang lain”. Kalau saya menjadi yang lain, kapan saya akan melihat dan menghargai diri saya sendiri?? Saya bangga dengan diri saya sendiri. E adalah nama yang menunjukkan identitas saya. E itu nama yang cantik.

Saya paham ‘dari perubahan nama ini saya bisa belajar tentang bagaimana menghargai diri saya sendiri’. Banyak pribadi sekarang yang tidak bangga dengan dirinya sendiri. Mereka lebih cenderung menjadi yang lain. Mereka lebih cenderung menjadi seperti yang orang katakan. Sebaiknya rambutmu seperti ini, bibirmu seperti ini, stylemu seperti ini, dan seperti-seperti yang lain.

Mereka tidak pernah bangga dengan keunikan yang mereka miliki. Mungkin zamanlah yang menuntut mereka untuk seperti ini. Tapi, sekali-kali kita jangan pernah salahkan zaman.

Zaman tak pernah salah untuk menciptakan dan mewujudkan dirinya. Ia hanya menawarkan dirinya untuk manusia. Zaman semakin edan dan manusia ingin menjadi seperti  Eden. Kalau ingin menjadi Eden (Firdaus) pasti di dalamnya ada pohon terlarang.

Justru pohon terlarang di zaman edan inilah yang selalu dikejar dan diimpikan manusia. Di zaman edan, ada begitu banyak tawaran yang menarik. Manusia tinggal memilih sesuai kesukaan dan keinginan. Kalau mau itu, kalau mau ini “asalkan engkau punya uang”.

Semuanya ditukar dengan uang. Uang menjadi penawar dan pelicin utama. Kalau bukan uang, apa lagi?? Semuanya serba uang. Manusia bisa menikmati pohon terlarang hanya dengan uang. Bos utama mereka adalah uang. Kasihan tapi itulah kenyataan. Mau seperti apa lagi??

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline