Lihat ke Halaman Asli

Gonjang Ganjing Negeri Khatulistiwa

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jadi itu yang kamu lakukan selama ini!” Kata kakakku dengan tatapan sinis.

“Demo, demo, demo, apa itu saja yang kamu lakukan?” Nada bicaranya mulai tinggi.

“Kakak banting tulang untuk sekolahmu, kamu tau?. Mulai besok hentikan semua itu, belajar itu tugasmu. Biar cepat jadi sarjana. Jadi pengacara, mengerti!”

“Jadi sarjana, jadi pengacara, ya…. pengacara korupsi” Jawabku sinis.

Kulihat wajah kakakuyang semakin geram mendengar jawabanku. Dia pikir aku boneka yang siap menjalankan adegan dalam skenario yang ia buat? Konyol. Aku adalah aktifis kampus yang belakangan ini menyuarakan “Hapus KKN”. Aku berdiri paling depan, berseru membela rakyat kecil. Badan aku pasang dan suara lantang aku persiapkan. Namun itu dulu, sebelum aku mengetahui bahwa aku termasuk dalam bagian KKN yang kakakku lakukan.

“Fendy sudah, masuk sana!” Perintah wanita yang telah melahirkanku.

“Mah,”

“Sudah mamah tau, tidak perlu dijelaskan! Masuk!” Perintah mamahku untuk kedua kalinya.

Kakiku langsung melangkah pergi dengan hiasan rasa kesal dihati. Aku hanya bisa mencacimaki diri ini atas ketidakberdayaan.

“Kak Fen” Panggil Rena adikku.

“Kenapa? Kakak salah atau disalahkan?” Tanyanya dengan mengembangkan senyum penasaran.

Sayang, aku tak tertarik menjawab pertanyaan dari saudara perempuanku itu. Tanpa kata aku pergi menghilang di balik pintu kamar.

***

Matahari tampak tak bersahabat. Dengan kegarangannya menyinari ibu kota. Di tambah suasana politik yang juga ikut–ikutan mendidih. BBM naik, sembako naik, biaya sekolah naik, bahkan korupsipun ikut naik. Rakyat miskin menjerit karena bingungharus mengadu kepada siapa, pejabat malah dengan asyiknya menikmati kursi yang mereka duduki, pengusaha terus memikirkan investasi sedangkan mahasiswa sibuk dengan aksi – aksi demonya. Ya…. negeri ini memang sedang diguncang. Bukan oleh gempa bumi atau tsunami, tetapi oleh moral para penghuni negeri ini akibat arus globalisasi. Sehingga etika dan tata karma tak ada lagi.

“Lima ribu, dua ribu jadi tujuh ribu ditambah yang tadi, em…… total lima puluh empat ribu. Ealah…… dikit banget ya,”

“Cuma segitu hasil nyopet loe hari ini?” ledekku gembira.

“Enak aja loe! Semenjak gue temenan sama loe, gue ngga pernah nyopet.” Bela cewe tomboy dengan celana robek – robek.

“Iya… ngga nyopet tapi ngambil secara paksa atau diem-diem”

“Aselole….. Demi Tuuuuuhan!!! Gue udah bertekad mau buat para petinggi negeri malu. Gue aja yang hidup susah ngga nyopet, mereka yang hidup enak masih aja nyopet.” Kata dia sambil tersenyum tipis dan membuatku tersinggung.

“San, Santi. Anak-anak mana? Nggak mau belajar apa? Kamu sih nggak tegas sama mereka,” Kata seorang perempuan dengan rambut hitam panjangnya yang terkena tiupan angin.

“Ye… mana gue tau tuh bocah-bocah pada blom dateng,”

“Ih…. Kamu bukannya cari malah ngitung uang terus, jumlahnya tetep ngga bakal berubah.” Kata perempuan itu dengan ekspresi yang membuatku semakin terpesona.

“Woiii… napa loe ngalamun aja,” Semburan naga Butet (panggilanku untuk Santi) membuyarkan semuanya apalagi setelah melihat wajah kumelnya. Hancurrr.

“Kenalin nih Feb, mahasiswa yang gue sering ceritain itu. Sarjana hukum gitu deh. Moga-moga cepet di wisuda, biar bisa belain kita kaum miskin, bener kagak?” Dengan semangat Butet memperkenalkanku.

“Febi,” kata perempuan cantik itu singkat.

“Ya, udah gue cari bocah-bocah dulu. Ntar loe manyun terus lagi, tinggal dulu ya, jangan kemana-mana ya, tungguin gue ya,”

Diawali dengan tatapan malu tapi mau. Diikuti rangkaian kata yang berubah menjadi larik cerita. Kami tertawa sembari berbagi cerita. Mencoba saling mengenalkan diri dengan rasa grogi yang menyelimuti. Dan siang ini tampak lebih sejuk dihati.

“Woiiiiii….. dah dateng tuh bocah,” Suara yang membubarkan suasana.

***

“Kak ada temennya di depan,”

Huhft… dasar! Di undang jam delapan pagi baru nongol jam 2 siang. Dan tanpa wajah berdosa atau bersalah dengan enteng cewe jalanan itu masuk ke kamar (Ngga inget kalau kita bukan muhrimnya).

”Loe ngga mau nglukis lagi? sampe kasih semua alat lukis ke gue,”

Aku hanya terdiam, mencoba meyakinkan hati atas keputusan ini. Lagi pula bukankah aku sudah lama meniggalkan dunia lukis? Dan ini saatnya untuk meniggalkan sepenuhnya.

“Jangan dijawab! Nanti loe berubah fikiran deh,” Kata Butet sambil merebut semua perlengkapan lukis.

“Ye…. Dasar kutu jalanan,” Ledekku puas.

“Enak aja…. Pahlawan jalanan cuy,”

“Mau minum apa? Wait…. Kalau buat loe cuma ada air mineral, mau?” Gue semakin ingin ngeledek.

Alhasil sebuah bantal melayang mengenai kepala. Dan hampir aja menimbulkan perang bantal, sebelum ingat kalau lawanku seorang cewe dengan cover cowo. Perang bantal tercegah dengan bergegasnya tubuh ini ke dapur.

“Ini mi….,”

“Sutttttt, Diem!” Perintah Butet.

“Hallo bos, gimana? Udah di transfer uangnya?” Suara itu jelas terdengar dari file di laptopku.

“Udah, sesuai janji. Hasilnya gimana?” Terdengar seorang pria menagih janjinya.

“Santai, sudah beres! Sekertaris saya sedang mengurusnya. Tinggal tunggu hasil dan pasti sukses.” Perkataan yang diiringi tawa kepuasan.

Ya… percakapan itu terus terdengar. Percakapan yang mengandung unsur KKN. Dan rupanya Butet tak sebodoh yang aku kira. Dia mengendus bau KKN dalam rekaman percakapan dari laptopku. Seperti yang aku katakan negeri ini sedang diguncang. Dan aku termasuk didalamnya.

“Apa ini?” Tanya Butet datar dan aku hanya terdiam.

“Apa ini? Apa maksudnya? Kamu anak hukum kan Fen? Pasti kamu tau!” Nada bicara yang mulai tinggi.

“Iya loe bener. Kakak gue koruptor dan gue tau. Bahkan uang hasil korupsi itu buat nyekolahin gue, kenapa? Loe keberatan?” Kata gue lantang.

“Jadi selama ini loe apa? Loe…jangan-jangan sekolah hukum buat… buat mbelain kakak loe kalau ada apa-apa!”

“Heh, loe ngga tau rasanya di posisi gue. Loe pikir gue ngga menderita? Loe pikir gue tenang? Nggak!” Nada bicaraku mulai mencapai titik didih.

“Janagn fikir loe yang paling menderita. Gue…. Gue dari kecil hidup di jalanan, tanpa perlindungan, punya beban. Dan loe tau? Kalau gue… berharap kalau loe beda dari orang-orang berduit di dunia ini. Masih punya hati nurani,” Kata Butet dengan nada dramatis.

“Loe tau? Disaat para petinggi negeri korupsi, para konglomerat nggak peduli, kami… kami orang yang memiliki apapun, masih berharap kepada mahasiswa generasi muda. Tapi…. Sama buruknya.” Nadanya semakin dramatis.

“Dia tulang punggung keluarga semenjak papahku meniggal. Diapun mengorbankan segalanya demi kami bisa hidup layak. Nggak ada yang nyangka kalau kakaku itu koruptor. Mamahku, beliau sudah tua. Aku ingin masa tuanya bahagia dan adiku dia sakit, butuh obat. Dia juga punya cita-cita. Dan semua itu ada ditangan kakaku.” Aku berujar pelan.

“Tapi semuanya itu tidak akan berakhir bahagia. Percaya!” Itulah kalimat yang terakhir Butet ucapkan. Dan aku hanya termenung mencoba mencari jawaban walaupun aku sudah tau jawabannya.

“Kak, dia benar. Janagan jadikan cinta alasan kakak menutupi kejahatan,” Kata adikku yang diam-diam mendengar keributanku dengan Butet.

***

Pagi ini aku mulai dengan sebuah pertengkaran antara aku, mamah dan kakak. Ya…. seperti biasanya aku tak berdaya. Apalagi melihat wajah senja mamahku yang memelas. Kalah telak. Dan akhirnya aku lebih memilih duduk di loteng rumah mencoba untuk tidak berfikir. Namun, memori otak ini tiba-tiba memutar adegan-adegan hidupku. Butet, seorang anak jalan yang sangat mengagumi aku kerena aku calon pengacara. Memuji, memuji dan memuji itulah yang dia lakukan kepadaku.

“Anak-anak! Kenalin, ini Kak Fendy. Dia…. Dia pengacara. Dia yang akan menegakkan hukum untuk kita kaum miskin. Dia sekarang keluarga kita. Jadi, kalian harus hormat sama dia. Setuju? Harus setuju,”

Kata-kata itu masih terdengar jelas, begitu bangganya dia mengenalkan aku pada dunianya. Namun itu dulu, ketika aku masih menjadi aku. Seorang pelukis yang bebas mengexpresikan segalanya di atas kanvas. Tidak sepertisaat ini, mahasiswa hukum yang selalu berpanutan pada undang-undang. Setelah bosan dengan melihat adegan-adegan hidupku yang terputar ulang, aku mengantinya dengan mengunjungi daerah kumuh dimana Butet tinggal disana. Kepalaku langsung clingukan mencari sosok Butet yang kummel. Ku kelilingi rumah 3x4 yang terbuat dari gardus untuk mengendus keberadaanya.

“Cari siapa?” Kata seorang wanita mengejutkanku.

“Eh… Febi. Butet…. Eh, maksudnya Santi ada?” Tanyaku gugup.

“Belakangan ini dia aneh. Ada masalah?” Tanya dia tenang dan menenagkan.

Aku tersenyum tipis tanda mengiyakan pertanyaan tadi. Kuceritakan yang terjadi. Kekecewaan atas sebuah harapan. Tentu saja sebagai orang yang mempelajari hukum pasti ingin menegakkan hukum untuk siapa saja. Tapi sulit untuk diwujudkan.

“Semuanya itu akan terasa mudah kalau dilakukan dengan hati,” Kata Febi.

“Maksudnya?”

“Bagaimana kamu bisa menegakkan hukum kalau kamu belajar hukum hanya karena tuntutan? Mungkin kalau degan hati kamu bisa lebih memaknai hukum dan dengan memaknai semua akan jadi semestinya,”

Diam, tak ada komentar itulah yang aku lakukan. Ya… itu memang benar.

“Bisa nitip pesen buat Butet?”

“Apa?” Tanya Febi penasaran.

“Aku udah kembali. Besok Bundaran HI jam 8,”

“Apa?” Dia bertanya untuk kedua kalinya.

“Sampaikan ke Butet, dia pasti ngerti,” Kataku sembari berlari meniggalkannya.

***

“Fendy?” Mamah berkata dengan nada khawatir.

“Kamu dari mana sayang? Kamu….”

“Maaf mah, aku melakukannya karena aku sayang kakak,” Kataku pelan.

“Fen jangan bercanda! Dia tulang punggung kita, adikmu sakit, mamah sudah tua. Kalau kakakmu dipenjara, siapa yang akan mengantikannya?” Kata mamah di iringi isak tangis.

“Aku, aku mah. Percaya sama Fendy kalau…”

Bruk. Tanpa aku duga kakakku mengayunkan pukulan ke arahku dan akupun tersungkur. Namun aku segera berdiri dan membalasnya. Rena dan mamah hanya menjerit sambil mencoba melerai.

“Adik ngga tau terima kasih, rasakan!” Kata kakakku disusul pukulan keras.

“Seharusnya kamu berterimakasih!” Kakakku memukulku lagi.

Bruk. Bukan pukulan yang kali ini mengejutkan kami. Rena, dia pingsan. Dan seketika suasana berubah. Ambulance kami telfon. Dan kami mulai cemas dengan keadaan ini.

“Sayang bangun,”

“Kakak apa kalian? Kalian sudah besar. Sekarang lihat adik kalian! Dia sakit! Kalian tahu kan?”

“Mah,” Panggilku lirih.

“Diam!” Bentak mamah.

Dan sore ini semuanya tampak kacau. Entah siapa yang memulai, entah siapa yang harus disalahkan, dan entah siapa yang harus menyelesaikan. Ya…. hanya waktu yang mempunyai jawaban.

***

Pagi ini para mahasiswa berkumpul di Bundaran HI, termasuk aku. Kusimpan semua masalah yang terjadi pada keluargaku. Hari ini aku telah kembali menjadi diriku. Aku bukan lagi boneka yang dijalankan dengan sekenario karya kakaku.

“Srop KKN, Hukum mati para koruptor,” Tak henti-hentinya mahasiswa meneriakan kalimat tersebut. Kamipun berparodi tokoh koruptor. Ban kami bakar membuat lalulintas semakin ruwet. Dari gedung pemerintahan yang satu ke gedung pemerintahan yang lain. Dari pagi, siang, hingga matahari terbenam kami semakin ganas. Gas air mata dan tembakan peringatan sudah di luncurkan. Keamanan menambah pasukan dan siap pasang badan. Para petinggi negeri sibuk memerintah jajaran keamanan. Media mencoba mengexpose yang kami lakukan. Dan masyarakat mencoba tak melibatkan diri.

“Fendy! Fendy!” Panggil seseorang yang tak asing bagiku.

“Butet? Ngapain loe,”

“Nih minum, loe cape kan? Negeri ini emang lagi galau. Para pengusaha sibuk cari keuntungan dengan cara nyuap pejabat. Mahasiswa yang sekolah tinggi-tinggi ngga bisa nahan emosi karena teralalu banyak aspirasi yang terpenjara dihati. dan gue… kaum miskin ngga peduli yang penting besok perut bisa keisi,”

“Ya… welcome to gonjang ganjing negeri katulistiwa.” Kataku nggap-ngapan.

“Eh…. jatuh teks pidato gue,” Kataku sembari menunduk mengambilnya.

Dor. Aku terdiam mendengar suara itu. Berhenti sejenak setelah mendengar suara tembakan yang amat terdengar keras di telingaku .Sebelum akhirnya aku menyadari ada tetesan darah yang jatuh di depanku. Butet?. Satu detik suasana hening sebelum akhirnya bertambah ricuh. Sebagian mahasiswa terkejut ada peluru yang menembus tubuh Butet. Polisi mulai memanfaat atas yang terjadi pada Butet. Sebagian mahasiswa ada yang diringkus dan yang sebagian mundur dengan melempar batu. Aku dengan wajah panik mencoba menyelamatkan Butet di bantu mahasiswa lain.

“Bertahanlah!” Desisku dalam hati.

Orang dengan sragam putih-putih langsung menyambut kami. UGD, Butet dibawa tanpa keberdayaan. Tak ada penjelasan atas sebuah kejadian yang di alami Butet.

“Fen gimana Santi?” Tanya Febi panik.

Menit-menit menegangkan baru saja terjadi dan baru berhenti ketika dokter mengatakan bahwa Butet telah pergi kepada sang ilahi.

***

Semuanya begitu cepat terjadi tanpa sepasi dari detik. Dua hari semenjak kepergian Butet belum juga menghapus tanya yang menyelimuti fikiranku. Siapa dalang dibalik semua ini? Siapa yang harus disalahkan? Siapa yang bisa menjelaskan dan siapa yang bisa menjawabnya?.

“Belum pulang? Pulang gih,” Kata Febi.

“Biarkan dia tenang disana. Kamu tahukan kalu selama hidupnya dia tidak pernah tenang,”

Dengan kemalasan aku mulai melangkah pulang. Tubuhku ibarat lampu 2 watt, tak ada gairah, muka lusuh, ya… seperti baru kerampokan uang satu pabrik.

“Tidak, jangan saya mohon,” Teriak seseorang. Dan tubuhku yang berdaya 2 watt seperti menerima setrum yang membuatnya berdaya 10 wat. Mamah? Kulihat seseorang sedang diringkus petugas, tidak ada perlawanan yang terlihat namuan kepasran jelas terlihat diwajahnya.

“Fen, kakakmu! Cepat tolong dia, Fendy!” Pinta mamah padaku.

Peringkusan kakaku menarik perhatian warga. Semua mata tertuju padanya. Tidak ada yang bisa aku lakukan karena aku yang menyebabakannya.

“Fen, kakakmu…” Kata mamah dengan sisa tenaganya. Ku bawa mamah kedalam rumah. Kutenagkan dan kupeluk wanita yang mulai menginjak usia 60 th. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya aku tidak dapat menebaknya.

Ketika matahari mulai hilang dibalik malam aku pergi mengunjungi adikku yang masih terbaring di rumah sakit. Dengan tertangkapnya kakakku oleh KPK kini, semua beban ada di pundakku.

“Kak, baca ini deh,” Pinta Rena sambil menyodorkan HP kakaku.

“Sial sekali adikmu itu. Habisi saja dialah. Buang semua lumut yang ada disekitar kita,” mataku terbelalak saat membaca pesan singkat itu.

“Alah…. Untuk apa kau sayang dengan adik kau, padahal dia yang akan menjebloskanmu ke bui,” Aku semakin terkejut.

“Kalau kau tidak mau, aku sendiri yng akan menghabisinya. Jangan halangi aku!” pesan singkat itu jelas mengingatkanku pada Butet. Pluru nyasar?. Seketika lutut ini tak berdaya menopang tubuh ini.

***

“Aku diwisuda!,” Teriak Rena bahagia

Delapan tahun sudah berlalu semenjak kejadian itu. Dan kebahagiaan mulai menyapa kami. Kulepaskan nama mahasiswa dan ku ambil kuas dan kanvas. Melukis untuk sesuap nasi. Awalnya terasa sulit namun semua itu kini telah terbayar. Terlihat jelas raut bahagia di wajah mamah di usianya yang sudah senja dan bertambahnya kriput di wajahnya, begitu pula Rena yang berhasil diwisuda dari universitas impiannya. Dan tak kalah bahagianya kakaku yang sebentar lagi menghirup udara kebebasan serta Febi yang berhasil mempunyai rumah singgah untuk anak-anak yang kurang beruntung. Namun, akau lebih bahagia. Masuk dalam salah satu adegan saat negara dalam gonjangan dan berhasil keluar dengan membawa kebahagiaan, sungguh sangat mengesankan. Aku juga berhasil membuat semua orang yang aku sayang bahagia. Termasuk Butet yang bahagia di alam sana. Kebahagiaan yang sempurna.

“Sayang,” Kata Febi manja memelukku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline