Lihat ke Halaman Asli

Antara Sejarah, Capres dan Televisi

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam tadi sekitar pukul setengah 10 kurang, saya turun dari kamar saya setelah berjam-jam mengerjakan pekerjaan translating. Biasa, badan pegel plus lapar juga jadi saya memutuskan untuk bersantai sejenak menonton TV sambil ngemil. Ketika sampai di bawah, saya sempat bercanda-canda dengan ibu saya yang ketika itu juga berada di ruang TV. Saya mencintai Ibu saya, yah meskipun kadang-kadang bawel dan menyebalkan (orang tua mana sih yang nggak begitu? Hehe). Waktu itu channel TV yang dipilih adalah tipiwan. Dimana hanya nyala saja, toh nggak ditonton karena Ibu sibuk ngotak-atik buku arisan. Karena merasa nggak ada yang nonton, saya ganti ke Metrotipi. Yah sejak pilpres, TV di rumah hampir setiap hari yang disetel adalah Tipiwan karena orangtua mendukung capres-cawapres Prabowo-Hatta. Saya tidak keberatan toh saya jarang di rumah, jadi juga jarang nonton TV.

Ketika nonton Metrotipi, program yang ditayangkan adalah ‘Melawan Lupa’ dan tema malam itu yang diangkat adalah tragedi kerusuhan Mei 98. Saya ingat ketika itu peristiwa itu terjadi, saya masih berumur 10 tahun. Mana ngerti sih yang begituan? Dan mana mau saya repot-repot mikiran demo mahasiswa, mikir mahasiswa dan politik waktu itu saja rasanya berat. Bagi saya waktu itu, mikir bisa mengerjakan soal matematika saja sudah susah apalagi mikirin kerusuhan Mei 98 dan seluruh intrik politisnya? Jadi saya senang sekali waktu Metrotipi menayangkan program acara tersebut.

Namun sungguh saya kecewa ketika Ibu saya berkata, “Ih jangan nonton ini, ini cuman buat ngejelek-jelekin Prabowo, ganti aja tipiwan!”. Sedetik aku mengernyitkan jidat. Dalam hati membatin, ‘yah saya tau tragedi kerusuhan Mei 98 biasanya memang dikaitkan dengan Prabowo tapi apa tidak boleh saya melihat gambar-gambar, video dan dokumentasi peristiwa itu? Toh gambar-gambar dan video itu nyata dan benar adanya, terlepas dari siapa dalang dibalik kerusuhan tersebut’ Lalu saya menjawab Ibu, “Loh ibu, ini kan sejarah... biarlah saya nonton lagi, kan waktu saya nonton ini saya berumur 10 tahun. Masih belum ngerti”. Lalu ayah saya datang dan karena tidak ingin melihat anak dan istrinya bertengkar, membolehkan TV kala itu tetap di channel Metrotipi.

Ketika menonton program melawan lupa tersebut, saya trenyuh. Saya sakit melihat seorang ibu menceritakan kembali dimana pada hari ketika anaknya ditembak, paginya anaknya itu meminta ibunya memakaikan jas almamater, seolah memberikan kesan betapa bangga dirinya dapat mengenakan almamater tersebut, dipakaikan ibunya dan tujuannya untuk berdemo melawan kekerasan, rezim, atau apalah yang mereka perjuangkan ini. Merintih hati saya melihat keluarganya menangis, bergetar rasanya melihat bagaimana kawan-kawan se-almamater nya berdoa sambil menangis dan menggigil karena shock melihat temannya sudah ditutupi kain kafan di rumah sakit. Saya bisa membayangkan sekarang bagaimana pahit dan sakitnya keluarga dan teman-teman yang ditinggal pahlawan-pahlawan reformasi tersebut. Betul-betul biadab sekali orang-orang yang menembak generasi-generasi muda yang bersemangat ini untuk kemajuan bangsa dan negara ketika itu. Tidak habis pikir bagaimana orang dapat melakukan kekejaman seperti itu.

Namun apa yang membuat saya tambah tidak habis pikir lagi adalah ketika baik Ibu dan Bapak saya memberikan komentar yang saya pikir kurang bijak. Mereka mengatakan, “Ah ini pasti buat ngejelek-jelekin Prabowo. Dasar Metrotipi!” dan mereka mulai berkomentar bagaimana sebenarnya Prabowo tidak bersalah, dan bahwa dalang peristiwa tersebut adalah Wiranto bla bla bla..ujung-ujungnya adalah politik.

Dalam hati saya hanya bisa mengelus dada. Saya tidak mengerti mengapa fakta sejarah ini menjadi ajang untuk membela satu capres dan menimbulkan perasaan negatif alias suudzon terhadap TV yang menayangkan acara tersebut. Kemudian saya berkomentar balik,karena mereka sudah mulai ramai dan saya tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan narasi program tersebut. Saya bilang, “Bisa tidak ya kita menonton acara dengan sikap netral? Bisa tidak ya kita menonton tanpa harus memilki rasa prasangka? Apa yang salah dengan tayangan ini? Kenapa seolah-olah ini tayangan yang buruk? Ini hanyalah tayangan sejarah yang mengajak masyarakat terutama generasi muda untuk belajar tentang sejarah”. Tapi sebagai anak, apa daya, aturan dalam rumah dan setiap orang tua hanya ada 2. Pertama, Orang Tua tidak boleh dibantah dan tidak pernah salah. Kedua, apabila ada yang berani membantah karena merasa orang tua berfikir salah maka harus kembali ke aturan pertama. Itu yang saya alami. Tapi saya sabar aja sambil berdoa supaya bisa bertahan saja.

Selama setengah jam saya nonton acara tersebut dengan komentar-komentar negatif dari orangtua tentang TV yang menayangkan dan pembenaran-pembenaran juga pembelaan atas nama capres yang digandang-gadang terkait peristiwa tersebut. Bapak saya berkata, “Itu yang nembak Polisi itu, bukan Prabowo, bukan Brimob bukan pasukan Prabowo”, padahal ya kayaknya di acara itu nggak ada yang bilang kalau yang melakukan penembakan Brimop atau pasukan anak buah prabowo. Kan aku jadi geli sebenarnya. Padahalnya juga, dari awal tayang sampai akhir.. sampai credit roll, tidak ada disebut-sebut nama Pak Prabowo di program tersebut.

Sementara Ibu saya menganggu saya dengan ‘ganti saja ke tipiwan, ganti saja ke tipiwan’. Kemudian saya menyadari, mereka tidak mau melihat atau menerima tayangan sejarah itu karena semua orang tahu bahwa peristiwa Mei 98 itu berkaitan dengan dipecatnya Pak Prabowo dari kemiliteran. Saya paham mengapa mereka tidak mau menonton. Seseorang yang mengelu-elukan satu capres tertentu pastilah tidak mau menerima berita yang jelek-jelek tentang orang yang menjadi sanjungan dan junjungannya. Namun hanya saja, sangat disayangkan buat saya karena dengan memilih satu capres bukan berarti kita tidak mau menerima segala kekurangannya. Pak Prabowo hanya manusia, bukan Tuhan. Kalau tidak mau menerima kekurangan apa yang ada dalam sosok manusia, sama saja dia tidak mengakui bahwa Tuhan lah yang maha sempurna, sama saja dengan menyekutukan Tuhan bukan?

Saya tidak bilang orangtua saya menyekutukan Tuhan, saya agak bias jadi saya bilang mungkin mereka hanya terbawa suasana. Benar-benar pilpres kali ini saya rasakan yang terpanas daripada pilpres-pilpres sebelumnya. Orangtua saya orangtua yang baik, Ibu saya rajin Sholat dan ayah saya rajin ke Masjid. Namun semenjak ada pilpres dan keseringan nonton tipiwan kok mereka jadi suka menjelek-jelekkan orang (capres lawan) dan suka suudzon sama lawan-lawan politik capres pilihan mereka. Dan yang parah suka mengolok-ngolok partai tertentu tanpa mau melihat kekurangan dari apa yang menjadi junjungan mereka. Ini membuat saya tidak nyaman. Apa yang telah tipiwan lakukan sampai orangtua saya jadi kehilangan rasa toleransi, sifat netral dan pintar menganalisi? dan jadi maaf.. agak sok tahu juga sih. Saya tidak tahu apa yang tipiwan suguhkan sampai-sampai mereka tidak mau melihat channel lain dan bersikap apatis terhadap channel TV lain. Mereka berpikir sumber hanya satu, yaitu tipiwan.

Saya merasa orangtua saya sudah menjadi korban pencucian otak (lebay), karena saya masih ingat ketika Ayah saya sangat tidak menyukai berita-berita di tipiwan dengan slogannya yang ‘terdepan mengaburkan’ tersebut semenjak peristiwa erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta beberapa tahun silam. Ya, saat itu saya ingat tipiwan memang agak lebay dalam memberitakan dan sudah menjadi semacam kesepakatan di keluarga kami bahwa tipiwan memang terdepan mengaburkan dan melebaykan berita. Belum lagi bias-nya yang tidak pernah jujur atau menjelek-jelekkan partai yang dipimpin Bakrie atau mengangkat berita lumpur lapindo. /elus dada/

Lewat tulisan ini saya mohon kepada TV berita mana saja, tolonglah netral kalau memberitakan berita. Jangan banyak nyindir, jangan banyak menjelek-jelekkan orang lain, jangan banyak buat opini publik yang cinderung bias, kasian orang-orang tua ini loh... katanya mengedukasi, tapi kok kenyataannya mempersempit mind-set dan malah menjadikan orang bias semakin bias, eh pake mengolok-olok lagi. Kalau yang ngerti sih mungkin eneg ya sama TV yang bias, dan nggak mau nonton. Orang yg tadinya bela capres tertentu tapi karena dibias sama salah satu TV berita, malah nggak jadi bela hehe.. Jangan sampai perbedaan dan kecenderungan memilih satu capres tertentu menjadikan diri kita tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, apalagi sengaja melupakan sejarah. Sejarah tetap sejarah, gambar, foto, dokumen, video itu nyata dan benar adanya. Tidak perlu lah sampai pusing mikir siapa salah siapa benar pada kala itu, yang penting kita bisa belajar dari sejarah saja. Hidup itu indah tanpa harus berkelahi, tanpa harus memaksakan kehendak, apalagi menfitnah dan menghina-hina orang lain.

Bijaklah memilih acara tontonan di televisi. Cara berpikir, dan psikis mungkin bisa terpengaruh olehnya. Filter acara dengan baik, cari berita yg netral dan acara yang menghibur. Televisi seharusnya memberikan pengetahuan dan memperkaya kreasi berpikir, bahkan menginspirasi untuk hal-hal positif. Bukan malah menjadikan kita buta, acuh, dan gampang diprovokasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline