Lihat ke Halaman Asli

Daindo Milla

Mahasiswa Doktoral di Universitas Pendidikan Ghanesa

Bapakku adalah Seorang Petani dan Penggerak Pendidikan

Diperbarui: 28 November 2024   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapak B. W. Deke (sumber: Penulis)

Bapakku, Petani yang Membajak Ladang dan Harapan

Di sebuah desa kecil di Pulau Sumba, hidup seorang lelaki sederhana bernama "B. W. Deke", yang bagiku tak sekadar ayah. Ia adalah seorang petani yang tangguh, seorang penggerak pendidikan dalam keluarga kami, dan teladan yang menyemai nilai-nilai hidup hingga aku berdiri di sini, menjadi dosen.

Pagi hari di rumah kami selalu dimulai dengan denting cangkul yang menyentuh tanah. Bapakku memulai harinya di ladang, menyiapkan ladang dan kebun yang menjadi sumber kehidupan kami. Meski kerap berselimut peluh, ia tak pernah mengeluh. "Tanah ini adalah ibu yang memberi kita makan. Tapi pendidikanlah yang akan memberimu kebebasan," katanya suatu hari.

Bagi bapak, pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai kemiskinan di desa kami. Ia bukan hanya seorang petani yang menggali tanah, tetapi juga menggali potensi dalam diri kami, anak-anaknya.

Membaca di Tengah Lampu Minyak

Malam-malam di rumah kami selalu menjadi saat yang tak terlupakan. Dengan lampu minyak sebagai penerang, bapak sering mengajakku membaca buku-buku seadanya yang ada di rumah. Ia hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), tapi semangatnya belajar luar biasa.

Bapak mendongengkan cerita-cerita tentang pahlawan yang berjuang untuk pendidikan. Ia sering mengaitkan perjuangan mereka dengan ladang yang ia garap. "Pendidikan itu seperti bertani. Kau harus menyemai benih, merawatnya dengan sabar, dan menuai hasilnya di masa depan," ujarnya.

Aku karena masih kecil hanya mengangguk, tetapi kata-katanya terpatri dalam ingatan. Itulah yang membuatku semangat belajar meski perjalanan sekolah penuh tantangan.

Menjual Hasil Kebun untuk Pendidikan

Sebagai petani, bapak tak hanya mengandalkan hasil dari ladang. Kebun kecil di belakang rumah menjadi tumpuan utama kami. Ia menanam kopi, pinang, sirih, dan berbagai tanaman lain yang ia rawat dengan telaten.

Setiap minggu, mama akan membawa hasil kebun itu ke pasar desa sebut saja pasar waimangura namanya. Aku masih ingat jelas bagaimana mama berjalan kaki memikul keranjang berisi kopi, pinang, dan sirih di dalamnya. Hasil dari penjualan itu ia sisihkan untuk kebutuhan sekolah kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline