Lihat ke Halaman Asli

Impian atau Abahku

Diperbarui: 18 Mei 2024   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi yang sangat cerah seperti moodku pada saat ini. Di sebuah penjara suci tepatnya di Pemalang Jawa Tengah aku tinggal. Namaku Hawa Berliana biasa dipanggil Bebe. Hari ini diawali dengan bangun pagi dan bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah wudhu selesai para santri berlomba-lomba menuju ke masjid untuk melaksanakan kewajiban yakni sholat subuh. Jam menunjukan pukul lima pagi, aku dan teman-teman kembali ke kamar masing-masing. Kegiatan kali ini berjalan seperti hari-hari sebelumnya, antri kamar mandi, makan bersama, dan berangkat sekolah.

            Di pondokku memiliki ciri khas yang berbeda dari pondok lain, dimana kita berangkat sekolah empat kali sehari. Pukul lima pagi adalah sekolah pondok, setelah itu sarapan pagi bersama dan persiapan menuju sekolah formal dengan jalan kaki karena jaraknya sangat dekat.

            Pelajaran demi pelajaran aku ikuti. Sampai waktu menunjukan sholat dhuhur. Aku bersama Haifa teman sebangkuku kembali ke asrama untuk menunaikan sholat dhuhur dan makan siang. Perutku yang sudah keroncongan ini tak sabar ingin melahap makanan yang telah disediakan oleh ibu Kartini, nama ibu dapur pondokku. Sesampainya di dapur aku mencium bau aroma sedap sebuah sayur, ya, sayur sop sayur kesukaanku.

            Setelah selesai ishoma, aku kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran selanjutnya. Rizka, temen sekelasku yang terkenal sangat pintar dan rajin memanggilku, “Bebeeeee,” panggilnya dengan teriak.

“Iyaa rizkaa, limadza?” [1] “Nanti sore keluar yuk, ke warnet.” “Hayya[2], lama ga online.” Jawabku. “Oke, setalah mufrodat[3] yaa.” Jelasnya. “Siap!”

 

Sore hari pun tiba, setelah sholat ashar, aku sebagai bagian bahasa dalam orsa (organisasi santri) memencet bel tanda bahwa pemberian mufrodat akan segera dimulai. Para santri pun mulai berkumpul dilapangan. Dan aku memulainya dengan salam dan penuh teriakan agar mereka juga ikut semangat.

 

            “Kulna jama’atan[4]” Seruku. “Haaadirohh..” Jawab para santri. Atau jika dalam Bahasa inggris, “Say together!” mereka akan menjawab, “Yes!”

 

            Setelah pemberian kosa kata selesai, aku dan Rizka menuju kantor untuk meminta izin kepada ustadzah. Kita biasanya pergi keluar pondok menggunakan sepeda, angkutan umum , becak atau bahkan berjalan kaki. Namun, kali ini kita berjalan kaki sampai menjumpai becak karena diarea pondokku cukup sulit menemukan angkutan umum. Sesampainya di warnet kita bermain sepuasnya sambil dengerin musik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline