Lihat ke Halaman Asli

Perempuan dan Ramadhan

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam baru saja menunjukkan pukul tiga pagi. Suara mesjid pun belum terdengar. Bu Aisyah, salah satu ibu rumah tangga, sudah terlihat sibuk bercengkrama di dapur. Panci, piring, kompor, semua telah ramai menyemarakkan malam yang telah berganti pagi dengan bunyi khasnya.Dibantu oleh putrinya, Ani, disiapkannya nasi dan lauk-pauk di atas meja makan. Tak lupa teh hangat dan cemilan.

Hampir satu jam mereka menyiapkan menu makanan sahur. Karena bulan ramadhan itu sebulan, maka selama sebulan pula mereka melakoni pekerjaan ini. Mereka menjadi semakin akrab dengan dapur. Pekerjaan yang sebenarnya di luar ramadhan biasa mereka lakoni. Tetapi di bulan ramadhan pekerjaan ini menjadi dua kali lebih dari biasanya. Menyiapkan sahur, buka puasa, dan makan malam. Itu yang minimal.

Dari dalam kamar terdengar suara dengkuran yang amat nyaring. Suami dan ketiga putra Bu Aisyah tampak begitu pulas menikmati tidurnya. “Pak, Adi, Edo, Hasan, bangun,” dengan lembut Bu Aisyah menyentuh tangan suami dan anak-anak lelakinya. “Udah jam empat ini. Setengah jam lagi imsak.”

“Hmm… ntar dulu Bu. Masih ngantuk nih,” Hasan, putra bungsunya menjawab dengan mata yang masih terpejam. Keduan anak lainnya pun hampir sama. Bu Aisyah kembali mengulang tepukan halusnya hingga keempat lelaki itu terbangun.

Dimeja makan telah tersedia beberapa jenis makanan. Keempat lelaki itu menduduki kursi meja makan yang memang kebetulan hanya ada empat. Ketiga anak lelaki itu tampak berlomba mengambil setiap jenis menu. Hampir-hampir tak ada lagi yang tersisa. Padahal Bu Aisyah dan Ani belum mengambil makanan. Yah, begitulah kebiasaan dalam keluarganya. Laki-laki akan diutamakan mengambil makanan, sementara perempuan harus rela menunggu giliran selanjutnya.

Jadilah Bu Aisyah dan Ani hanya mendapat makanan yang tidak berlebihan jika dikatakan sisa makanan. Ikan goreng tersisa satu potong, sayur asem pun tinggal tiga sendok. Makanan sisa itu dinikmati Bu Aisyah dan Aini.

Di depan tivi, keempat lelaki yang telah kenyang melanjutkan menu lainnya. Kali ini “menu berasap”. Apalagi kalau bukan tembakau yang terbungkus rapih atau lebih dikenal dengan sebutan : rokok! Mereka tampak berlomba-lomba mengepulkan asap di bibir mereka. Sesekali mereka meneguk teh hangat dan keripik singkong buatan Bu Aisyah sendiri.

Jam menunjukkan kurang tujuh menit sebelum imsak. “Ayo Nak, bantu Ibu bersihkan mejanya,” pinta Bu Aisyah pada Ani yang masih menikmati sisa-sisa makanannya.

“Ntar dulu bu. Ani mau makan cemilan dulu ya,” jawab Ani sambil mempercepat kunyahan makanan yang masih berkumpul di mulutnya.

Bu Aisyah segera merapihkan semua sisa-sisa makanan, piring dan peralatan dapurnya. Cepat-cepat ia bereskan meja makan dan mengelapnya hingga kacanya kinclong. Ani pun tak kalah repotnya. Ia merapihkan sisa-sisa abu rokok ayah dan ketiga kakak lelakinya. Sang ayah dan kakak-kakanya telah kembali ke singgananya dengan lantunan khas dengkurannya. Tinggallah Bu Aisyah dan Ani yang masih setia di area dapur.

Setelah menunaikan sholat subuh, melantunkan ayat-ayat Al qur’an, barulah Bu Aisyah lega melangkahkan kaki ke kamar tidurnya.

Pukul tujuh pagi, Bu Aisyah sudah kembali membuka mata dan segera membangunkan Keempat anaknya. Keempatnya harus berangkat ke sekolah. “Bangun nak, sudah jam tujuh. Setengah jam lagi masuk kan?,” dengan penuh kelembutan ia membangunkan anak-anaknya. Hal yang sama ia lakukan saat membangunkan suaminya tercinta.

Keberangkatan anaknya ke sekolah tak lantas membuat Bu Aisyah bisa duduk diam, apalagi melajutkan tidurnya. Ia harus menjalani pekerjaan rumah lainnya, memastikan kebersihan dari dapur hingga halaman rumahnya. Untuk menyelesaikan itu, Bu Aisyah butuh waktu sekitar tiga jam. Setelah mandi dan sholat dzuhur, barulah Bu Aisyah bisa membiringkan tubuhnya yang sudah hampir mau remuk.

Sebelum tidur siang, Bu Aisyah tak lupa memasang alarm. Ini ia lakukan untuk menjaga kalau-kalau ia nanti kebabblasan di dunia mimpi. Sebab ia tahu betul, pekerjaan rumah lainnya masih ngantri. Pukul tiga ia setel di alarmnya.

Sesibuk apa pun Bu Aisyah, ia selalu mendahulukan ibadah personalnya dengan Tuhan. Setelah sholat asar, barulah ia bersiap menuju pasar untuk menyiapkan menu buka puasa.

Di pasar, segerombolan orang yang kebanyakan perempuan telah memenuhi area makanan. Entah pasar telah menjadi tempat favorit bagi para perempuan ini atau karena di dalam pikirannya telah tertanam bahwa memang mereka harus menyiapkan makanan untuk untuk diri dan keluarganya.

Es buah dan kolak adalah dua menu yang paling favorit di bulan ramadhan. Tiap daerah boleh saja punya makanan khas takjil buka puasa. Tetapi dua menu itu telah dikenal dan hampir tak pernah luput di setiap daerah di Indonesia.

Kembali ke dapur. Bu Aisyah dan Ani kembali sibuk di dapur. Jika ditanya di bagian mana di rumah ini yang paling sering didatangi oleh kedua perempuan ini? Maka jawabannya adalah dapur. Apakah karena dapur menjadi tempat favorit bagi mereka? Entahlah.

Jika ditanya hal apa yang tidak kurang dari tiga kali dilakukan dalam sehari oleh kedua perempuan ini? Maka jawabannya adalah sholat dan cuci piring. Betapa tidak, dengan pola makan minimal tiga kali dalam sehari, tentu piring, gelas, dan peralatan dapur yang digunakan meningkat dua kali lipat dari biasanya.

“Bu, kita taraweh ke mesjid yuk,” Ani mengajak ibunya yang masih sibuk mengelap sisa-sisa minyak penggorengan di kompornya.

Tanpa menoleh ke arah Ani, Bu Aisyah menjawab, “iya sayang, setelah ibu berekan dapur ya. Makanya ayo bantuin ibu dulu biar cepet selesai.”

“Gimana kalau ngajak kak Hasan, Kak Adi sama Kak Edo untuk ngepel lantai dapur Bu?,” Ani mengusulkan ide yang agak berbeda dan tidak biasa dalam keluarganya. “Supaya cepat selesai kan? Lagian mereka kan lagi nggak ada kerjaan bu. Dari pada main game mending bantuin kita.”

Kali ini Bu Aisyah menoleh ke arah Ani. Ia menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menggosok kompor gasnya. Mungkin ia kaget, heran, atau malah setuju dengan usulan anaknya. Kalau memang bisa dilakukan bersama, mengapa memilih hanya berdua? Toh pekerjaan ini bisa dilakukan oleh siapa pun. Toh tidak ada larangan dalam agama bahwa suami dan anak-anak lelakinya tidak boleh menyentuh dapur. Malah, agamanya mengajarkan agar saling tolong-menolong dan bekerjasama dalam segala hal. Ini sekaligus menegaskan keadilan dan keseimbangan dalam ajaran agama yang diyakininya.

Ani tampak berlalu dari dapur. Ia menuju ruang tivi. Mungkin ia ingin segera merealisasikan ide barunya tadi. Entahlah.

***

Dalam gelap menjemput terangnya pagi, Pondok Cabe, Rabu, 31 Juli 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline