Lihat ke Halaman Asli

Mila

🙊🙉🙈

Membingkai Air Mata

Diperbarui: 15 Agustus 2021   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pagar rumahku. Kepalanya terlihat naik turun mengikuti pijakan kakinya yang berjinjit-jinjit. Dia tak cukup tinggi untuk menopangkan dagunya di atas pagar bambu rumahku. 

Entah apa yang sebenarnya dia inginkan dengan melongok begitu layaknya pencuri yang hendak beraksi. Sejenak dia berhenti. Aku bisa melihat dari ujung kepalanya yang diam tak bergerak. 

Dia berjalan menjauh beberapa langkah saja. Kemudian dia menunduk. Memandangi sesuatu yang ada di bawah. Atau mungkin dia sedang bimbang. 

Tapi tak lama karena kemudian dia kembali. Kepalanya terlihat lagi di atas pagar rumahku. Timbul tenggelam lagi. Rambutnya sudah jarang tapi masih hitam. Sepertinya aku mengenalinya, tapi aku juga tak yakin. 

Aku masih menunggu. Tapi aku juga mulai jengah. Baru saja hendak aku beranjak keluar, aku melihat jemari di satu tangannya mulai menjulur dan berpegangan pada puncak pagar itu. 

Sesekali dia mulai melompat. Tapi tetap hanya dahinya saja yang terlihat. Aku masih berdiri di balik kelambu jendela depan. Mataku ini sudah tak sehebat masa mudaku. Aku cuma berharap dia tahu pagar bambu itu sudah tua dan mulai rapuh. Tak butuh banyak kekuatan untuk merobohkannya. 

Tak butuh waktu lama pula untuknya mulai berderak-derak. Aku menghela nafas dan segera memulai langkahku ke pintu depan. Aku harus memastikan lelaki itu menghentikan aksi sembrononya. Siapa nanti yang repot jika sungguh pagar bambu itu ambruk? Aku sudah terlalu tua untuk kehebohan seperti itu. 

"Pak Mo! Pak Mo!" Dia mulai berseru penuh tekad. Saat itu juga aku tahu siapa lelaki itu. Satu-satunya penghuni belakang rumah yang  memanggilku dengan Mo. 

Bukan Dar seperti yang lain. Cuma istriku saja yang memanggilku seutuhnya; Darmo. Kecuali jika tercintaku itu sedang memberiku peringatan. 

Dia akan menyebut nama lengkapku dengan nada suara yang demikian rendah: Darmo Wirjodjatmiko, disertai tatapan tajam tanpa berkedip. 

Biasanya, aku akan berdeham untuk menyembunyikan kegentaranku meski aku tetap beringsut menjauh. Tapi, sudah lama aku tak lagi gentar. Istri tercintaku sudah tiada dan aku merindukannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline