Dewan Pers menyatakan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan hukum pidana baru. Pasalnya, revisi undang-undang tersebut dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana dalam menjalankan tugas jurnalistik. Tidak hanya mengancam dan merugikan kebebasan pers, tetapi juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi. Pada Selasa, 6 Desember 2022, DPR secara resmi mengesahkan hukum pidana pengganti undang-undang warisan pemerintah kolonial Belanda. Undang-undang baru akan berlaku dalam tiga tahun ke depan setelah masa sosialisasi. Dewan Pers menyayangkan pengesahan KUHP baru dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan dari masyarakat, termasuk komunitas pers, mengingat masih ada pasal-pasal krusial yang mengancam pers dan jurnalis.
Sejak Senin, 5 Desember, ratusan jurnalis dan masyarakat sipil berunjuk rasa meminta otoritas menunda pengesahan KUHP. Tetapi anggota parlemen menolak untuk mendengarkan kritik publik dan jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah mengidentifikasi KUHP baru berisi 17 masalah yang dapat memenjarakan jurnalis dan warga negara dalam dan luar negeri karena menghina presiden/wakil presiden, badan negara lain, dan pengadilan, dan beberapa tahun penjara karena pencemaran nama baik. Selain itu, wartawan juga bisa dipenjara dengan pasal-pasal karet terkait laporan yang tidak lengkap dan berita bohong yang berujung kerusuhan. Pasal ini melanggar prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia, khususnya terkait dengan Prinsip Siracusa tentang pembatasan yang sah, juga bertentangan dengan prinsip perlindungan kebebasan berekspresi terkait dengan kritik terhadap pejabat publik.
KUHP yang baru akan menyasar jurnalis kritis dengan sanksi pidana. Media bertindak sebagai pengawas biasanya mengkritisi kebijakan pemerintah atau presiden/wakil presiden, dan mengungkap kejahatan atau korupsi. Ketika kebebasan pers ditindas, masyarakat juga dirugikan karena sulit mendapatkan informasi. Jadi ini bukan soal hak jurnalis, tapi juga mengancam hak publik. Meski Indonesia telah meratifikasi UU Pers 1999 untuk melindungi jurnalis, pasal pencemaran nama baik tetap menjadi ancaman besar. Dalam dua tahun terakhir, setidaknya tiga jurnalis telah dipenjara dan banyak lagi yang tersangkut kasus hukum berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang terbit pada 2008, kemudian direvisi pada 2016. AJI mendesak pemerintah dan DPR untuk mendekriminalisasi kerja jurnalis dalam melayani publik. Pemerintah juga harus menghormati UU Pers sebagai mekanisme khusus dalam menyelesaikan setiap kasus berita.
Schramm, Siebert, dan Peterson memperkenalkan buku Empat Teori Pers pada tahun 1956. Buku ini menjelaskan empat jenis pers: Teori Otoritarian, Teori Libertarian, Teori Tanggung Jawab Sosial, Teori Soviet Komunis (Siebert, F., Peterson, T., Peterson, T. B., & Schramm, W.,1956). Yang menjadi fokus adalah pada teori libertarian. Teori libertarian juga merupakan bagian dari teori normatif komunikasi massa. Pers benar-benar bebas menyebarkan berita apapun yang etis untuk dipublikasikan. Padahal, surat kabar berperan sebagai pengawas masyarakat. John Milter adalah pelopor konsep komunikasi massa libertarian yang dimulai akhir tahun 1700, dikembangkan di AS dan Eropa pada tahun 1900. Menurut konsep Libertarian, manusia adalah individu yang rasional untuk mengetahui kebenaran. Sebagai contoh,
Pers harus bebas dari pemerintah.
Pers tidak bergantung pada pemerintah dan bebas berbicara.
Pers dikendalikan oleh jurnalis dan media.
Permasalahan Pada Kebebasan Pers
Kode baru berisi ketentuan yang mengkriminalisasi pejabat publik yang menghina, termasuk presiden dan anggota pemerintah. Tidak ada pembelaan terhadap kebenaran. Dengan kata lain, suatu delik dilakukan jika pejabat itu dihina, sekalipun tuduhan itu benar. Efek mengerikan yang akan terjadi pada debat terbuka dan kebebasan pers terlihat jelas. Faktanya, ketentuan yang setara dicabut dari kode sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional. Ini adalah upaya mencolok untuk mengembalikan ketentuan tersebut, memberdayakan pemerintah untuk menindak lawan-lawannya.
Ketentuan lain melarang penyebaran ajaran yang bertentangan dengan ideologi negara, Pancasila. Ini juga bisa digunakan untuk melawan kritik pemerintah. Aktivis hak asasi manusia juga prihatin dengan implikasi kebebasan pers dari dua ketentuan lainnya. Yang pertama melarang penyiaran dan penyebaran berita bohong (yang belum ditentukan) yang mengakibatkan kegaduhan atau keresahan masyarakat dan diancam dengan hukuman maksimal dua tahun.
Yang kedua bahkan lebih berbahaya bagi jurnalis. Dinyatakan siapa pun yang menyiarkan atau mendistribusikan berita yang tidak diverifikasi atau dibesar-besarkan atau tidak lengkap (istilah yang juga tidak ditentukan) juga akan menghadapi penjara. Ketentuan lain yang sangat kontroversial berkaitan dengan penodaan agama. Kode tersebut memperkenalkan peningkatan pembatasan pada agama dan kehidupan beragama yang akan memperkuat dan memperluas basis di mana kelompok agama minoritas dapat dianiaya. Ini akan memperparah masalah yang berkembang di Indonesia pasca-Soeharto.