Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput berisi cerita-cerita sisi lain polisi, hasil dari rentetan perjalanan Iqbal Aji Daryono (IAD), penulis sekaligus tukang jalan-jalan yang awam akan dunia kepolisian tapi sangat penasaran dengan bagaimana sesungguhnya kehidupan para polisi.
Bermula dari blusukan ke dua puluh provinsi di Indonesia, ia memotret aktivitas polisi yang tidak viral tetapi berada di luar bayangan mainstream orang awam, lalu mengemasnya menjadi travel stories yang menawan. Tiga ratus tujuh puluh empat halaman yang full colour di dalamnya menggambarkan kisah dan pengalaman anggota Polri di beberapa sudut wilayah Indonesia dengan berbagai dinamika dan tantangan tugasnya.
Seperti biasanya, perspektif IAD selalu di luar kelaziman. Di saat sebagian besar masyarakat lebih memilih memviralkan kasus-kasus yang melibatkan oknum kepolisian, dengan usilnya ia malah mengungkap sisi lain polisi. Menurutnya, jika hanya menulis yang sama dengan apa yang sudah dipahami banyak orang, maka kita tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi cakrawala berpikir publik luas.
Awalnya saya sempat ragu, apa yang hendak saya harapkan dari sebuah buku yang bahkan penyusunannya pun diinisiasi oleh alumni Akademi Kepolisian. Hanya dengan melihat kover depannya saja, saya sudah langsung membayangkan lembar demi lembar yang isinya penuh sesak dengan kalimat puja-puja. Namun tatkala mengeja nama penulisnya, seketika saya berpikir lain: mana mungkin penulis sekaliber IAD akan menuangkan hal-hal yang artifisial dan tidak asli?
Walaupun yang diulas hanyalah sisi-sisi positif dan humanisnya saja, ia berinteraksi secara langsung dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Sehingga citra positif Polri berhasil dibangun secara elegan, jauh dari kesan glorifikasi yang berlebihan. Agaknya, penulis yang ogah disebut sebagai buzzer polisi ini benar-benar telah belajar tentang bagaimana menata porsi yang pas antara idealisme dalam berkarya di satu sisi, dan sikap realistis agar mesin karyanya tetap berjalan di sisi yang lain.
***
Banyak kisah luar biasa dalam buku terbitan Giga Pustaka ini, beberapa di antaranya sungguh membuat saya bergidik ngeri. Tentang Aipda Zulqadri yang batok kepalanya dibacok parang oleh seorang residivis dalam kisah Di Tengah Lontaran Bilah-Bilah Tajam misalnya. Atau cerita yang berjudul Bertempur dengan Senjata Obat, Termos, dan Babi-Babi yang mengisahkan aktivitas polisi pasca peristiwa pembantaian tenaga kesehatan di Papua.
Meski saya sangat paham bahwa semua itu adalah bagian dari tanggung jawab dan pengabdian, tetap saja saya masih belum sanggup membayangkan bagaimana mencekamnya situasi yang dihadapi oleh mereka yang bertugas di sana. Pun, saya sungguh tidak sampai hati memikirkan betapa was-was dan khawatirnya keluarga mereka.
Apalagi ketika penjelajahan saya sampai pada kisah Melawan Serangan Ilmu Hitam di Batas Selatan. Saya tak habis pikir bagaimana bisa seseorang dengan begitu mudahnya mengayunkan parang hanya gara-gara sebuah mimpi. Dan kasus-kasus pembunuhan dengan motif serupa itu sudah berkali-kali terjadi, bahkan mungkin telah menjadi fenomena jamak sejak ratusan tahun silam. Ngeri betul.
Lebih ngeri lagi saat tebersit nasib mereka yang ditugaskan di sana, di daerah dengan kultur sosial masyarakat yang kental dengan aroma mistis, suanggi, teluh, santet dan sejenisnya. Sungguh menyeramkan! Di batas selatan Republik Indonesia itulah nyali para petarung bhayangkara diuji.