Buku setebal empat ratus tiga puluh enam halaman ini oleh Reza Nufa, penulisnya, sengaja dikemas menyerupai fiksi supaya lebih menarik. Namun buku ini sepenuhnya merupakan kisah nyata perjalanan Reza Nufa, berjalan kaki sejauh ribuan kilometer dari Ciputat sampai Puncak Gunung Rinjani, Lombok. Terus terang saya penasaran lalu tertarik ingin memiliki memoar yang ditulis Reza dalam kurun waktu empat tahun ini, seusai membaca beberapa potong kisahnya yang tersaji pada thread promo di akun Twitter miliknya.
Menurut Reza, ini buku paling emosional yang pernah dia tulis. Barangkali karena prosesnya betul-betul melelahkan dan hal-hal yang dia temui sepanjang perjalanan, masih terus membekas hingga kini. Lagi pula butuh keberanian lebih untuk mengemas cerita semacam ini, sebab di dalamnya ada banyak borok, kisah-kisah lampau yang personal, juga mimpi-mimpi yang akhirnya tidak kesampaian. Dan dia menuliskan buku Pulang ke Rinjani ini untuk orang-orang yang patah, di lebih dari satu titik.
Wajar saja jika sampai ada yang beranggapan bahwa sebagai catatan perjalanan, buku ini terkesan kurang eksploratif dan informatif dalam memaparkan destinasi-destinasi yang Reza singgahi. Sebab ini memang bukanlah seperti pada umumnya catatan perjalanan yang sekadar berisi cerita mengenai objek wisata dan penjelajahan alam. Bukan semata tentang perjalanan fisik, tapi lebih ke perjalanan batin dan pikiran yang terkait dengan kondisi psikis Reza. Psikis Reza yang koyak, yang kacau dan amburadul, seiring dengan kerap munculnya keinginan-keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
Ini perjalanan untuk memikirkan ulang hendak dibawa ke mana hidup Reza selanjutnya. Dan benar saja, ada banyak hal yang terjadi dalam diri Reza setelah melakukan petualangan ini, selain parit-parit muka yang tampak lebih dalam dan tegas.
Sebelumnya, sewaktu masih di Ciputat, Reza sering menyakiti diri sendiri sekadar untuk merasakan bahwa dirinya masih hidup. Ketika benar-benar dihadapkan dengan rasa perih dan babak belur di jalanan, itu membuatnya merasa malu sampai-sampai ingin menertawakan diri sendiri. Ternyata rasa sakit fisik, terutama rasa lelah yang jelas outputnya, membuat manusia lebih menghargai diri sendiri.
Bagi Reza, semua rasa sakit, baik fisik maupun mental, itu riil. Tadinya, sering kali dia menghina diri sendiri yang berduka melulu dan bahkan menuduh dirinya cengeng. Tapi kemudian dia sadar bahwa diri sedihnya yang emosional dan caper itu sebetulnya cuma ingin didengar, ingin diakui keberadaannya sebagai bagian dari diri manusia.
Sedangkan "mendengar" adalah skill yang sulit. Menurut Reza, telinga manusia hanyalah jalan masuk suara. Yang bisa "mendengar" itu ada di bagian yang lebih dalam pada tubuh kita. Dan untuk membuka pintu ke sana, dibutuhkan banyak waktu dan tenaga.
Sebetulnya sebelum perjalanan ini dimulai, Reza sempat berhadapan dengan pertanyaan menyebalkan dari orang terdekat. Cari apa? Kamu ini kenapa? Apa tidak sayang buang-buang waktu? Kenapa tidak naik pesawat saja?
Pertanyaan-pertanyaan yang dia pun tak punya jawabannya, dan mungkin memang tak perlu dicari, karena bukan itu yang dia butuhkan. Dia percaya manusia tidak mesti selalu mencari definisi diri, hendak ke mana perginya, bagaimana akhir hidupnya, untuk apa waktunya, dan seterusnya. Sebab, hidup sudah runyam tanpa perlu diperdalam.
Di sepanjang perjalanannya, Reza merasa kegelisahan yang sejak awal merasukinya, perlahan menghilang. Kecemasan yang Reza alami sebelumnya terkait hidupnya ke depan, seolah mulai pudar. Menurutnya, membuka diri adalah modal utama kesembuhan batin.
Tapi pada langkah pertama saat tiba di Bandealit, sebuah pantai megah sekaligus menyeramkan di Meru Betiri, Reza langsung merinding. Ada suatu nuansa yang sulit dia deskripsikan. Di sana dia mengalami lagi rasa takut yang tadinya sempat hilang, dan ini bukan tentang hal mistis. Dia berada dalam suasana yang betul-betul asing namun karib bagi dirinya yang lain.