Kehidupan dalam bernegara pada umumnya mengakui adanya supremasi konstitusi. Konstitusi merupakan hukum dasar (undang-undang dasar) yang menjadi pedoman dalam menyelenggarakan suatu negara. Negara yang memegang prinsip supremasi konstitusi menempatkan undang-undang dasar berada di atas segala peraturan perundang-undangan yang lain.
Indonesia memiliki konstitusi tertulis, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Konstitusi Bangsa Indonesia tersebut telah mengalami amendemen (perubahan) hingga empat kali. Perubahan dilakukan agar hukum dasar dapat berfungsi baik sebagai sarana pengendali terhadap penyelewengan dan penyimpangan dalam perkembangan zaman, sekaligus sarana pembaruan serta perekayasaan ke arah cita-cita kolektif Bangsa Indonesia.
Namun, begitu baiknya Pasal-pasal dalam Konstitusi sekalipun, jika penyelenggara negara tidak berjiwa demokrasi serta berkomitmen, maka Pasal tersebut tidak dapat terwujud. Konstruksi ini kemudian melahirkan sebuah special tribunal, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu institusi peradilan yang berfungsi mengawal (to guard) dan penafsir akhir Konstitusi dengan tujuan agar Konstitusi dapat dilaksanakan dan dihormati oleh penyelenggara negara, bahkan warga negara.
Tanggal 13 Agustus 2003, Indonesia merupakan negara ke-78 yang memiliki MK di dunia saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Pengadopsian MK di Indonesia awalnya hadir pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA). Kelahiran MK dapat ditinjau dari aspek sosial politik, di mana pemerintahan pada saat itu berjalan tidak mulus melalui proses konstitusional yang baik (Siahaan, 2020). Di samping itu, alasan umum dibutuhkannya MK di Indonesia juga tidak terlepas dari isu ketatanegaraan modern, yaitu berkembangnya konsep judicial review, yakni pengujian keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.
Kewenangan MK Republik Indonesia dapat dilihat dalam Konstitusi, tepatnya Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu. Selain itu, MK juga memiliki kewajiban untuk memberikan putusan terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945.
1. Peran Agam Mahkamah Konstitusi
Menuju dua dasawarsanya, MK telah banyak berperan dalam pembaruan hukum di Indonesia melalui kewenangan mahkotanya, yakni menguji konstitusionalitas undang-undang. Predikat ini dapat dibuktikan melalui Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi Tahun 2022, di mana selama 19 tahun berdiri, tercatat bahwa dari 3.463 perkara yang telah diterima MK, pengujian undang-undang merupakan perkara yang paling banyak diterima, yaitu sebesar 1622 perkara. Sedangkan untuk kewenangan lain, tercatat bahwa terdapat 29 perkara terkait sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), 676 perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dan 1.136 perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada).
Banyaknya permohonan judicial review di MK menunjukkan bahwa produk hukum pembentuk undang-undang tidak jarang merugikan hak konstitusional warga negara. Padahal, UUD NRI 1945 menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, sedangkan salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (Asshiddiqie, 2018). Secara tidak langsung, maka hadirnya MK adalah bentuk kritik terhadap produk-produk yang dibuat oleh pembentuk undang-undang.
Ketegasan MK dalam Putusannya telah berperan besar menjadi landmark decision dalam menegakkan nilai-nilai Konstitusi yang fundamental. Sebagai contoh, pada tahun 2004 MK membatalkan sendiri Pasal 50 dalam UU MK yang saat itu membatasi undang-undang yang dapat diuji ke MK (Putusan MK No. 66/PUU-II/2004). Kemudian, menegaskan perlindungan hukum terhadap anak di luar perkawinan sehingga berhak atas hak-haknya di tahun 2010 (Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010), serta persetujuan penyidikan terhadap anggota DPR di tahun 2014 (Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014). Beberapa dari Putusan MK yang progresif tersebut menunjukkan bahwa MK mampu menjadi lembaga peradilan yang dapat dipercaya dan terhormat (reliable and honoured court).
Secara sosiologis, tingkat kepercayaan publik kepada sistem peradilan MK selalu naik dan berada pada kategori baik dalam 5 tahun terakhir. Kembali merujuk pada Laporan Kinerja MK Tahun 2022, nilai indeks tingkat kepercayaan publik terhadap MK adalah 84,56 di tahun 2018, 85,51 di tahun 2019, 85,53 di tahun 2020, dan 87,25 di tahun 2021 serta 87,33 pada tahun 2022. Meningkatnya tingkat kepercayaan publik seperti ini merupakan indikator penting bahwa pelayanan publik peradilan semakin baik yang dapat berimplikasi pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
2. Impresi Kritis dan Sebuah Pengingat
Tingginya tingkat kepercayaan masyarakat yang diklaim MK tampaknya "sedikit" berbanding terbalik pada fakta di tengah-tengah masyarakat hari ini. MK jangan jemawa, masih hangat di ingatan kita bahwa salah satu Hakim the final interpreter of the constitution tersebut, yaitu Aswanto diberhentikan oleh DPR dengan alasan sering menganulir produk hukum bentukan DPR dan Pemerintah. Sangat disayangkan, justru MK tidak segera mengambil sikap tegas saat salah satu di antara koleganya diberhentikan dengan tidak melalui prosedur yang telah diatur undang-undang. Meskipun komposisi Hakim Konstitusi diusulkan oleh Presiden, DPR, dan MA sebanyak masing-masing 3 (tiga) orang, namun kesembilan orang tersebut menjadi merdeka dan tidak terikat dengan lembaga pengusulnya saat telah menjabat sebagai Hakim Konstitusi. Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, sepatutnya MK memiliki "sikap tersendiri" yang menunjukkan bahwa dirinya tidak dapat diintervensi oleh lembaga mana pun.
Sorotan lain muncul pula ketika MK dianggap telah mengeluarkan Putusan yang berbeda dalam nomor perkara 103/PUU-XX/2022. Perbedaan tersebut terjadi dalam pertimbangan hukum antara Putusan yang dibaca dalam sidang dengan Salinan Putusan. Kembali disayangkan, justru salah satu Hakimnya yang baru menggantikan Aswanto dinyatakan terlibat dan melanggar Kode Etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena terbukti mengusulkan perubahan redaksi yang mengakibatkan perbedaan frasa dalam Putusan MK tersebut.