Lihat ke Halaman Asli

Rekening Kampanye Jokowi Bebani Rakyat

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya yang masih muda tapi karena sudah berkeluarga harus ikut perkumpulan kepala keluarga di lingkungan RT saya di Semarang. Dan karena jaman sekarang adalah era sibuk, sedangkan jabatan ketua RT tidak digaji dan tidak profitable, marwah 'RT' juga sudah tidak ada, semua bapak-bapak enggan menjadi ketua RT. Hanya dapat repotnya mengurus kampung, kerja sosial, sedang urusan di rumah sendiri banyak. Maka terjadilah, atas kehendak 'rakyat' mayoritas, saya dipaksa, diusung menjadi 'pemimpin' kampung. Terpilih menjadi ketua RT dengan suara mutlak. Saya pemimpin di kampung, tapi prakteknya saya menjadi pesuruh, pelayan warga. Pemimpin tapi disuruh-suruh. Pemimpin boneka. Pemimpin yang tidak memimpin, tapi bekerja. Kerja sosial karena tidak ada gaji.

Menghadapi Pilpres ini tidak mengenakkan perasaan. Sebagai pemimpin muda, menghadapi warga senior-senior. Ketua RT harus netral. Sedang warga memiliki pilihan berbeda. Kalau tidak pandai menjaga perasaan warga, keretakan kerukunan bisa terjadi. Seperti saat tetangga sebelah kiri kemaren bercerita tentang rekening kampanye Jokowi.

Mengapa Jokowi membebani rakyat yang sekarang masih hidup dalam kesusahan untuk menyumbang biaya kampanyenya. Rakyat miskin masih jutaan. Sedang orang-orang partai, anggota DPR, pengusaha, mereka kaya-kaya. Padahal nanti bila berkuasa, tentu Jokowi dan rombongan Parpol pendukungnya yang menikmati kuenya. Sungguh tidak elok dan tidak bersimpati dengan rakyat. uang lima ribu rupiah itu sangat berharga. Iuran RT yang tujuh ribu sebulan pun terasa berat bagi sebagian warga kita.

Saya mengangguk-angguk mendengarkan. Termasuk tugas saya sebagai pemimpin, mendengarkan masukan maupun keluh kesah warga, apapun isi dan jenis pendapatnya.

Lalu tetangga kiri saya itu bercerita, sebelumnya dia berdiskusi dengan tetangga sebelah kanan saya. Sebenarnya sih, bukan diskusi. Lebih tepat disebut debat. Bukan debat bermutu bermartabat, tapi debat sopir. Bukan debat kusir, karena sudah tidak ada andong atau dokar di wilayah saya. Kebanyakan warga adalah sopir, dan buruh pencari pasir, buruh pabrik, dan hanya beberapa pegawai negeri sipil. Debat sopir itu karena tetangga kanan saya bercerita tentang rekening kampanye Jokowi.

Katanya tetangga kanan saya bercerita, rekening kampanye Jokowi telah menggugah rasa kebangsaan warga dalam ikut berjuang mendukung calon pemimpin yang memberi harapan kepada rakyat. Sudah lama rakyat kecil hidup dalam beberapa periode presiden Indonesia dan selalu menanam harapan akan kehidupan yang lebih baik, sejahtera, seperti yang selalu digembar-gemborkan para pemimpin setiap akan ada pemilu. Beberapa kali rakyat melihat secercah harapan kepad seorang calon pemimpin baru. lalu harapan itu tidak terpenuhi. Dan sekarang rakyat melihat lagi ada seorang calon pemimpin yang terasa di hati menyiram kembali benih harapan mereka. Rakyat Indonesia selalu memiliki harapan, dan tak pernah kapok berharap kembali, walau dikecewakan oleh pemimpin sebelumnya.

Katanya tetangga kanan saya yang asli kampung saya sejak embah-embahnya, dulu jaman agresi Belanda, medan peperangan antara TNI dan NICA sempat melewati kampung ini. Rakyat kampung yang miskin saat itu, yang kadang sehari-hari harus memasak bonggol pohon pisang untuk mereka makan, mengumpulkan beras kalau ada, singkong, ubi, dimasak bersama dikoordinir mbah Lurah, untuk memberi makan tentara yang sedang berjuang berperang dan berada di desa ini.

Warga yang tidak bisa makan nasi setiap minggu ini, dengan hati penuh perasaan bahagia melihat para tentara pejuang memakan nasi masakan mereka dengan lahap. Mereka ikhlas memberikannya, karena secercah harapan, para tentara pejuang ini sedang memperjuangkan hari depan mereka. Padahal mereka tidak tahu apakah hari depan itu akan lebih baik. Mereka memberikan berasnya yang sangat berharga dengan hati puas, karena tahu para tentara ini mungkin akan memberikan yang lebih berharga, nyawa.

Tetangga sebelah kanan saya katanya bercerita, dia telah menyetor ke rekening kampanye Jokowi melalui ATM. Dan dia merasa sungguh bahagia dan terharu. Merasa ikut memberi sumbang sih kepada seorang pemimpin pilihannya yang dianggap akan memperjuangkan harapan-harapan rakyat. Sumbangan yang mungkin nilainya tak seberapa, walau terasa banyak baginya. Tapi dia tidak merasa eman, sayang. Bahkan rasa bahagia haru yang dirasakannya, adalah suatu perasaan yang seingatnya belum pernah dirasakannya. Berapa ongkos harus dibayar orang untuk merasakan perasaan bahagia seperti ini? Uang sumbangannya dirasa sama sekali tidak sebanding. Dan dia terpikir, mungkin seperti inilah perasaan yang dialami embahnya dulu saat memasak dan melayani makan para tentara yang sedang berjuang. Tidak menjadi beban bagi rakyat miskin yang menjamu mewah pahlawannya, yang sedang membawakan obor harapan baginya.

Tetangga kiri saya melanjutkan, dia membantah cerita tetangga kanan saya. Itu dulu, cerita masa lalu. Situasi, kondisi, suasana sekarang berbeda. Tidak bisa disamakan. Dan berbagai argumen diungkapkannya, tidak jelas terdengar bagi saya, karena pikiran saya mulai menerawang melamun.

Saya terus mengangguk-angguk mengikuti cerita tetangga kanan saya. Saya ketua RT, pemimpin, tapi masih muda. Harus mendengarkan dengan baik warganya. Pemimpin tapi disuruh-suruh, tidak memerintah tapi malah bekerja untuk warga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline