"Keberagaman bukanlah pemisah, tetapi penghubung yang menguatkan persatuan." --- Nelson Mandela
Kedatangan saya ke Pondok Pesantren Al Furqon di Tasikmalaya bersama teman-teman dari Kolese Kanisius bukan sekadar perjalanan fisik yang menghubungkan dua tempat, tetapi lebih dari itu, sebuah perjalanan spiritual dan budaya yang membawa saya pada pemahaman yang lebih dalam tentang toleransi. Kami tiba pada siang hari, disambut dengan hangat oleh para santri yang menganggap kami sebagai bagian dari keluarga mereka, meskipun kami berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Kehangatan sambutan ini terasa lebih dari sekadar ucapan selamat datang; ia menciptakan ruang untuk saling memahami, merayakan perbedaan, dan menguatkan jembatan antara kami. Perbedaan kami yang mencolok dalam hal agama, budaya, dan kebiasaan tidak menjadi hambatan, tetapi justru menjadi kekuatan yang memperkaya pengalaman kami di sana. Toleransi, sebagaimana diajarkan oleh Paus Fransiskus, adalah kemampuan untuk menerima perbedaan dengan hati terbuka dan melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dari satu sama lain. Di Indonesia, negara dengan keberagaman budaya dan agama yang luar biasa, Paus Fransiskus mengajarkan kita bahwa "perbedaan tidak boleh menjadi penghalang, tetapi justru peluang untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih damai" (Paus Fransiskus, 2024). Pengalaman saya di Al Furqon menegaskan kebenaran dari kata-kata tersebut, di mana perbedaan kami tidak hanya diterima, tetapi dirayakan. Kami belajar bersama, bermain bersama, dan yang terpenting, saling menghormati.
Kebersamaan dalam Keseharian
Hari pertama kami diisi dengan kegiatan olahraga bersama para santri. Kami bermain basket dan futsal, dua kegiatan yang menguji semangat kebersamaan kami. Di lapangan futsal, saya menyadari bahwa meskipun kami datang dari dunia yang sangat berbeda---kami menggunakan teknologi modern untuk berkomunikasi, sementara para santri lebih terbiasa dengan kehidupan sederhana tanpa gangguan dari perangkat elektronik---kami semua memiliki satu hal yang sama: semangat untuk bermain dan bekerja sama. Futsal dan basket bukan hanya olahraga bagi kami; mereka menjadi simbol dari persatuan. Kami beradu kekuatan di lapangan, namun setelah permainan berakhir, kami kembali menjadi teman yang saling mendukung. Perbedaan yang ada di luar lapangan lenyap begitu saja, tergantikan oleh semangat yang menyatukan kami.
Matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan tinggi yang mengelilingi lapangan, memancarkan sinar keemasan yang memantul pada lantai lapangan futsal yang sedikit berdebu. Suara sepatu yang bergesekan dengan tanah bercampur dengan gemuruh tawa, seruan semangat, dan teriakan kegembiraan. Udara sore terasa hangat, namun angin tipis sesekali menyapu, membawa aroma khas dari daun-daun basah dan tanah yang baru saja disiram hujan pagi tadi. Di sudut lapangan, beberapa santri duduk di atas bangku kayu sederhana, beristirahat sambil mengobrol dengan santai. Sebuah ring basket berdiri kokoh di sisi lain, catnya sedikit memudar, tetapi masih memantulkan cahaya lembut matahari. Langit mulai berubah warna menjadi oranye, menciptakan latar yang begitu indah, seolah-olah melukiskan harmoni yang tengah tercipta di antara kami semua.
Di malam itu, kami berkumpul untuk makan bersama di ruang makan yang sederhana namun penuh kehangatan. Sambil menikmati hidangan, kami mulai berbincang tentang berbagai hal. Diskusi ini berkembang dari pembicaraan ringan tentang kehidupan sehari-hari hingga perbincangan lebih mendalam tentang pendidikan dan pandangan hidup. Para santri menunjukkan betapa mereka menghargai pendidikan, tidak hanya dalam konteks agama tetapi juga dalam berbagai disiplin ilmu. Kami membahas banyak topik yang sering kali terlupakan dalam kehidupan kami di Jakarta, seperti pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam dunia yang semakin maju. Meski kami datang dari latar belakang yang berbeda, saya merasakan ada kesamaan di antara kami: keinginan untuk belajar, berkembang, dan menciptakan masa depan yang lebih baik.
Menurut saya, pengalaman ini memberikan pemahaman lebih dalam tentang bagaimana pendidikan dan toleransi dapat berjalan berdampingan dalam menciptakan masyarakat yang harmonis. Di tengah perbedaan, toleransi bukan hanya tentang menerima perbedaan tersebut, tetapi juga tentang merayakan kesamaan yang ada. Toleransi berarti memberi ruang bagi orang lain untuk hidup sesuai dengan keyakinan dan budaya mereka, tanpa menilai atau menghakimi. Seperti yang diajarkan oleh Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Indonesia, "Toleransi adalah keyakinan kita dalam mengembangkan dialog dan kebersamaan di tengah perbedaan" (Paus Fransiskus, 2024). Pesan ini sangat terasa di pesantren Al Furqon, di mana para santri dan kami---siswa Kolese Kanisius---berbagi ruang untuk belajar dan berkomunikasi meskipun berbeda dalam banyak hal.
Toleransi, sebagaimana dimaknai dalam dialog lintas agama, juga mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal yang mengutamakan penghormatan dan kerja sama. Lebih dari sekadar menerima, toleransi mendorong kita untuk menggali potensi kolaborasi di tengah perbedaan. Hal ini selaras dengan pemikiran Dalai Lama yang mengatakan, "Ketika kita menerima perbedaan dan fokus pada kesamaan, kita menemukan kedamaian di dalam diri kita dan dunia." Pengalaman di Al Furqon mempertegas bahwa dialog adalah kunci untuk menjembatani kesenjangan pemahaman. Dengan dialog, bukan hanya perbedaan yang dipahami, tetapi juga kesamaan yang dirayakan, menciptakan ruang untuk kerjasama yang saling menguntungkan dalam masyarakat yang majemuk.
Pada pagi hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan ke Curug (air terjun) dan pemandian air hangat. Keindahan alam di sekitar pesantren membawa saya pada kesadaran betapa kesederhanaan itu mengajarkan banyak hal. Berbeda dengan Jakarta, tempat ini terasa lebih murni dan dekat dengan alam. Begitu pula dengan hidup para santri yang jauh dari kecanduan teknologi, namun mereka memiliki kedamaian batin dan ketenangan dalam menjalani hari-hari mereka. Perbedaan yang jelas terlihat dalam gaya hidup kami, namun dalam segala kesederhanaan itu, saya menyadari bahwa ada pelajaran yang jauh lebih besar tentang kedamaian, persahabatan, dan kebersamaan. Di sini, saya belajar bahwa kenyamanan tidak selalu berarti kemewahan, dan kebersamaan bukan hanya soal kesamaan, melainkan juga saling menghargai perbedaan.